Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mak Haji Ekoy dan Gembolannya

6 April 2018   10:52 Diperbarui: 6 April 2018   13:13 763
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.qraved.com

Adzan subuh belum juga berkumandang, namun Mak Ekoy sudah sedari tadi sibuk di belakang rumahnya menyusun kayu bakar. Satu persatu kayu bakar itu dipotong, untuk persiapan selepas salat subuh berjualan serabi. Belum lagi membuat adonan serabi yang kesemuanya dikerjakan sendiri. 

Anak laki-laki semata wayangnya sudah lama merantau ke kota untuk mengadu nasib, semenjak suaminya meninggal karena sakit 11 tahun yang lalu. Kini hidupnya sendiri, berjualan serabi di ujung jalan Kampung Cikuray, sesekali juga terkadang nyambi menjadi buruh tani ketika dibutuhkan Haji Deden, tokoh terpandang di kampung itu.

Sudah sejak 20 tahun yang lalu, Mak Ekoy selalu menitikkan air mata, ketika melihat rombongan iring-iringan warga kampungnya yang menunaikan ibadah haji. "Ya Allah, kapan saya bisa berangkat mengunjungi rumah-Mu disana," gumamnya sembari menyeka air mata. 

Dirinya sadar, naik haji tidaklah gampang, butuh biaya yang sangat besar, belum lagi tata cara manasik yang sama sekali tak pernah dipahami. Namun, tekad bulat yang begitu kuat, terus mengiringi hari-hari Mak Ekoy, bermohon kepada Sang Maha Kaya, agar dirinya sanggup berkunjung ke Tanah Suci yang sejauh ini dimimpikannya. 

Setiap hari, sejak 20 tahun lalu, sisa uang berjualan serabi yang tak seberapa dan ongkos buruh tani yang jauh dari cukup, tetap disimpan, seraya berharap suatu saat uang simpanannya cukup untuk ongkos pergi haji yang entah kapan terlaksana.

Ibu saya, Rodiah, adalah salah satu petugas Penyuluh Agama di kota itu yang hampir setiap harinya berkeliling dari satu kampung ke kampung yang lain, memberikan penyuluhan keagamaan kepada warga kampung, khususnya kaum hawa. 

Disitulah ibu saya mengenal Mak Ekoy, yang selalu rajin hadir di setiap kegiatan penyuluhan agama yang diasuh ibu saya sendiri. Mak Ekoy, meskipun tak pernah mengenal pendidikan formal, namun selalu kritis, bertanya banyak hal tentang apa yang ingin dia ketahui, termasuk salah satunya bagaimana caranya agar bisa pergi haji. "Neng, Mak mah suka gak percaya, apa Mak bisa pergi haji? Mak udah tua begini, gak punya uang, apa Allah masih mau melihat Mak?", tanyanya kepada ibu saya seusai kegiatan penyuluhan.

Ibu saya terkagum-kagum dan selalu tersenyum dengan banyak pertanyaan dari Mak Ekoy. "Mak, pergi haji itu panggilan Allah. Kalau orang itu sudah mempersiapkan semuanya, pasti Allah akan panggil. Gak ada bedanya, mau yang banyak uang atau gak, semuanya akan dipanggil untuk haji", jawabnya. "Neng, kapan atuh berangkat hajinya, Mak pengen ikut bareng, tapi gak tahu uang tabungan Mak cukup atu enggak", potong Mak Ekoy sambil berkaca-kaca. Sambil tetap tersenyum dan meyakinkan Mak Ekoy, ibu hanya bilang, "Insya Allah Mak, saya dan suami tahun ini berangkat. Kalau Mak mau ikut bareng, nanti saya daftarin Mak ke Depag, uangnya sekalian bawa ya".

Dua hari kemudian, Mak Ekoy datang menemui ibu saya dengan wajah sumringah, berharap bisa bersama-sama berangkat haji, mengingat Mak Ekoy sama sekali belum tahu dan butuh bimbingan dari orang yang dapat dipercaya selama disana. "Ini, Neng, uangnya Mak bawa", selorohnya dengan peluh tampak memenuhi wajah keriputnya. 

Dibukanya kain jarik yang selama ini dipergunakan untuk mengumpulkan uang. Entah bagaimana cara menghitungnya, karena gembolan yang dibawa Mak Ekoy ke rumah ibu sedemikian besar dan berat. "Pokoknya, Mak maunya ikut Neng aja. Mak sendiri, Cuma Neng yang Mak percaya," jawabnya berharap Mak bisa berhaji waktu itu.

Ibu saya sempat terharu dan memeluk Mak Ekoy. "Ya Allah, Mak, usaha Mak pasti gak sia-sia. Tapi saya gak sanggup harus hitung uang segini banyak. Sekarang Mak pulang aja, besok uang ini saya bawa ke Bank biar nanti dihitung buat daftar Mak haji". Dengan wajah sumringah, Mak Ekoy mengiyakan dan mohon pamit untuk menyelesaikan urusannya di ladang milik Haji Deden. "Neng, kalau kurang, Mak tolong dipinjemi dulu, Mak gak sabar pengen pergi haji. Takut Mak gak ada umur", ungkapnya lirih dan ibu saya menenangkannya.

Esok harinya, ibu saya membawa gembolan uang Mak Ekoy ke bank walaupun dengan agak ragu, apakah semua uang ini cukup atau tidak. Pihak bank-pun nampak terheran-heran dengan gembolan yang dibawa ibu saya, namun dengan penuh kerelaan, lembar per lembar seluruh uang itu selesai dihitungnya. "Semuanya berjumlah 5 juta 230 ribu ibu, jadi kekurangannya hanya sekitar 100 ribu saja", kata petugas bank setelah menghitung seluruh uang Mak Ekoy. "Subhanallah, ya sudah lunasin saja sekarang, biar selesai urusannya," jawab ibu saya dengan terharu. Ongkos haji tahun 1990 waktu itu hanya sekitar Rp 5.320.000 dan Mak Ekoy dengan keyakinan hatinya mengumpulkannya selama kurang lebih 20 tahun!

Bukan alang kepalang senangnya Mak Ekoy setelah mengetahui dirinya bisa pergi haji bersama seseorang yang sangat dirinya percaya. Tak habis-habisnya dirinya mengucap rasa syukur kepada sang Maha Kuasa dan menyadari benar bahwa Allah jelas tak akan membiarkan hamba-Nya yang berusaha secara maksimal. 

Mak Ekoy bukanlah siapa-siapa, bukan seseorang yang terpandang, bukan pula pribadi yang beruang, bahkan di kampungnya hanya dikenal sebagai sosok ramah yang rajin bekerja, jarang mengeluh walaupun kecukupan hidupnya jauh dari pas-pasan. 

Air mata Mak Ekoy berlinang di malam itu ditengah heningnya suasana malam, menetes membasahi lekukan mukenanya yang sudah tipis dan usang. Sajadah miliknya yang hanya satu-satunya, senantiasa menjadi saksi, menemani kegundahan hatinya untuk segera beribadah haji.

"Neng, Alhamdulillah, Mak makasih sekali sudah dibantu semuanya. Nanti Mak akan cicil kekurangan biaya haji yang sudah Neng lunasin," pinta Mak Ekoy ketika bersama ibu mengurusi kelengkapan dokumen ibadah haji. "Sudah Mak, gak usah dipikirin. Mak sekarang tinggal berdoa, supaya Mak selalu sehat sampai nanti berangkat", jawab ibu dengan penuh haru. "Tapi itu tetep utang Mak, dan Mak harus bayar, karena Mak gak mau mati masih bawa utang", kata Mak Ekoy keukeuh. Ibu Cuma tersenyum dan bergumam dalam hati, betapa orang ini berhati mulia, tak pernah mau merepotkan orang lain, pun sebenarnya dirinya sendiri repot mengurusi hidupnya sehari-hari.

Dua bulan kemudian, tibalah waktu berangkat Haji dan Mak Ekoy sedari dini hari sudah mempersiapkan seluruh peralatan yang hendak dibawa. Maklum, zaman waktu itu pergi haji harus membawa peralatan masak sendiri, berbeda dengan haji tahun ini, seluruhnya sudah di-cover pihak pemerintah, termasuk makan yang sudah di-handle pihak katering. 

Tanpa diiringi sanak saudaranya, Mak Ekoy bergegas menuju asrama haji kabupaten hanya dianter Mang Encon, tukang becak yang selalu setia membawakan dagangan serabinya setiap pagi. "Mak, doain saya biar bisa pergi haji", kata Mang Encon membuka pertanyaan. Dirinya juga terharu melihat Mak Ekoy yang sedemikian gigih dan akhirnya terbayar seluruh kegigihannya selama ini. 

Kini Mak Ekoy sudah berpulang, 5 tahun yang lalu dan warga mengenalnya dengan baik dengan sebutan "Mak Haji Ekoy" yang tetap berjualan serabi hingga akhir hayatnya. Selamat jalan Mak, semoga amal ibadah Mak Haji diterima disisi Allah dan menginspirasi banyak orang disana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun