Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Takhayyul" Sukmawati dalam Puisi "Ibu Indonesia"

4 April 2018   12:02 Diperbarui: 4 April 2018   18:19 3031
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membicarakan puisi atau sastra tentu saja lebih banyak mengungkap dimensi khayalan para penulisnya. Mengkhayal, tentu saja bagian yang tak terpisahkan dari dimensi kemanusiaan. Bahkan tanpa disadari, sesungguhnya perbedaan manusia dengan spesies lainnya tak hanya terletak pada akalnya, tetapi karena adanya daya khayal yang senantiasa hadir dan bergerak.

Berkhayal, serupa kegiatan tak berdasar, tanpa pijakan epistemologi yang kuat dan mungkin tak menghasilkan apa-apa, kecuali hanya angan-angan yang membumbung tinggi. Namun demikian, ia memiliki daya kekuatan yang mampu mewujudkan kenyataan. Bukankah tercetusnya ide mobil atau bahkan pesawat sebagai alat transportasi tercepat, awalnya berangkat dari khayalan?

Saya bukanlah pegiat sastra atau puisi, tetapi kadangkala mengagumi dan menikmati beberapa karya puisi yang dibacakan atau mungkin sekadar membacanya sendiri. Saya terkagum-kagum dengan salah satu puisi Abu Nuwas yang khayalannya seolah tampak "pesimis" seperti dalam syairnya: "Tuhanku saya bukanlah ahli surga, tetapi saya rasa-rasanya tak akan sanggup berada dalam neraka-Mu. Maka terimalah taubatku dan ampunilah kesalahanku. Sesungguhnya Engkaulah Maha Pemaaf sebesar apapun dosa yang kuperbuat".

Abu Nuwas adalah seorang tokoh sufi, penyair besar, yang tanpa malu-malu, merendahkan dirinya di hadapan Tuhan, bahkan menyebut dirinya seolah tak pantas menjadi ahli surga. Inilah barangkali cara para sufi menyampaikan khayalannya.

Abu Nuwas melambungkan khayalannya lewat syair-syair yang sedemikian menyentuh, kaya makna, bahkan menginspirasi. Seolah dalam syairnya hendak memberitahukan kepada manusia: janganlah merasa menjadi paling suci, terlebih bangga dengan "berjualan surga" yang tanpa sadar terus dijajakan kepada pihak lain. 

Surga seakan telah menjadi "hak milik" dirinya sendiri, sehingga muncul klaim kebenaran soal surga yang tak pantas "disentuh" pihak lainnya. Syair Abu Nuwas ini ---yang dikenal kemudian dengan "Syair Taubat"--- senantiasa dilantunkan menjelang dikumandangkannya azan oleh umat muslim di seluruh dunia. Lalu, apakah syair ini menyalahi atau melampaui syariat? Tidak, walaupun ada sebagian muslim yang beranggapan membaca syair sebelum azan adalah bid'ah karena disebut tak memiliki dasar dalam berbagai rujukan syariat Islam.

Membahas dunia khayal, akan lebih menarik ketika seorang sastrawan Arab, Ibnu 'Arabi, memaparkannya. Baginya, dunia khayal tak hanya berhubungan dengan kecerdasan akal, tetapi terkait pula dengan kepekaan merasa (dzauq) dan pengalaman inderawi (hissy). Oleh karena itu, dirinya beranggapan, hanya para nabi saja dan orang pilihan yang mampu menggabungkan daya khayal dan daya nalarnya hingga mencapai titik kulminasi. 

Menurutnya, tingkat khayalan setiap orang tentu berbeda-beda, ada yang "khayal munfashil" (daya khayal yang berada pada tingkatan ilahiah); dan "khayal muttashil" (daya khayal dalam tingkatan manusiawi). Jadi dapat dipastikan, syair sebagaimana ditulis Abu Nuwas masuk dalam kategori "khayal muttashil", berkait erat dengan dimensi ketuhanan yang mampu ditangkap secara baik oleh nalar dan khayalnya.

Lalu bagaimana menempatkan soal puisi Sukmawati tentang "Ibu Indonesia"? Sulit rasanya jika menempatkan puisi ini dalam perspektif "dunia khayal" sebagaimana digambarkan Ibnu 'Arabi, meskipun kecenderungan berkhayal pada tataran manusiawi, sedikit dapat dikaitkan. Jika yang dimaksud adalah "khayal munfashil", berarti ada eksistensi yang dihadirkan sebelumnya dalam dunia khayal seseorang, seperti yang kita pahami dari bait-bait puisi Sukmawati.

Eksistensi yang hadir dalam benak penulis puisi ini, tentu saja sesuatu yang menurut dirinya "buruk", menyimpang, dan merusak sendi-sendi keindahan budaya yang kemudian "membandingkannya" dengan eksistensi lainnya yang dalam benaknya adalah sesuatu yang lebih indah dan lebih baik.

Barangkali yang menjadi kegelisahan publik soal puisi ini terletak pada bait "Aku tak tahu syariat Islam. Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok. Lebih merdu dari alunan azan mu". Secara tekstual, jelas terjadi persoalan secara tersurat dalam bait-bait ini, terutama ketika membandingkan kata"azan"dengan "kidung". Membandingkan keduanya tentu saja tak sepadan, mengingat "azan" berkonotasi "panggilan" atau"seruan"dan kidung lebih banyak dipahami sebagai "nyanyian", "lagu" atau "puisi" yang dilagukan.Terdapat unsur kesengajaan dalam bait puisi ini yang sedianya mengkritik perihal kebiasaan dalam agama tertentu, tetapi tidak pada tempatnya. Terdapat "kekacauan sastra" yang sangat jelas dengan pemilihan kata yang tidak tepat, terlebih membandingkannya dengan kata lain yang sebenarnya tak ada kaitannya sama sekali.

Bagi saya, dimensi khayal yang terwakili dalam puisi "Ibu Indonesia" karya Sukmawati lebih dekat pada nuansa "takhayyul" di mana ada upaya menciptakan suatu gambaran dan merekonstruksinya kembali. Kita tentu paham, bahwa konsep takhayul dalam perspektif masyarakat lebih condong pada konteks penyempitan makna, bahkan bisa dimaksudkan sebagai sesuatu yang tak terjadi di dunia nyata, bisa berupa mitos, kepercayaan atau misteri.

Sama halnya ketika makna "azan" direduksi sebagai "nyanyian" yang tak enak didengar atau pemaknaan "syariat Islam" terderivasi menyempit pemaknaannya, hanya pada persoalan "cadar". Lebih jauh, puisi ini seperti menggambarkan proses kolaborasi penulisnya dengan inderawinya sendiri yang dalam beberapa kasus, memiliki serangkaian kontak pribadi yang tak mengenakkan dirinya dengan sekelompok umat agama tertentu.

Syair yang memiliki kekuatan daya imajinasi dan kekuatan daya khayal (quwwatu al-khayyal), tentu akan membuat siapapun yang mendengarnya terbawa dalam alunan gerak dunia khayalnya sendiri, menyatu dalam kepribadiannya, ikut menikmati secara pasti bait demi baitnya dan tentu saja sanggup menenangkan. Itulah kekuatan daya nalar dan daya khayal yang dipadukan, persis seperti bait syair yang ditulis Abu Nuwas dalam "Syair Taubat" nya yang terkenal.

Ajang kebudayaan Indonesia dalam tema besar Fashion Week 2018, memang seharusnya lebih dapat memberikan nuansa estetika sekaligus etika dalam balutan ragam "busana", tanpa membandingkan atau membedakan apalagi merendahkan budaya lainnya. Pun ketika dibacakan puisi di dalamnya, maka keterpaduan nalar-khayal menjadi perlu, agar puisi tak sekadar khayalan terlebih bualan. Karena takhayul dalam puisi hanya merekonstruksi dunia mitos, kepercayaan, atau misteri, tanpa pijakan pada kekuatan daya nalar yang pasti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun