Bagi saya, dimensi khayal yang terwakili dalam puisi "Ibu Indonesia" karya Sukmawati lebih dekat pada nuansa "takhayyul" di mana ada upaya menciptakan suatu gambaran dan merekonstruksinya kembali. Kita tentu paham, bahwa konsep takhayul dalam perspektif masyarakat lebih condong pada konteks penyempitan makna, bahkan bisa dimaksudkan sebagai sesuatu yang tak terjadi di dunia nyata, bisa berupa mitos, kepercayaan atau misteri.
Sama halnya ketika makna "azan" direduksi sebagai "nyanyian" yang tak enak didengar atau pemaknaan "syariat Islam" terderivasi menyempit pemaknaannya, hanya pada persoalan "cadar". Lebih jauh, puisi ini seperti menggambarkan proses kolaborasi penulisnya dengan inderawinya sendiri yang dalam beberapa kasus, memiliki serangkaian kontak pribadi yang tak mengenakkan dirinya dengan sekelompok umat agama tertentu.
Syair yang memiliki kekuatan daya imajinasi dan kekuatan daya khayal (quwwatu al-khayyal), tentu akan membuat siapapun yang mendengarnya terbawa dalam alunan gerak dunia khayalnya sendiri, menyatu dalam kepribadiannya, ikut menikmati secara pasti bait demi baitnya dan tentu saja sanggup menenangkan. Itulah kekuatan daya nalar dan daya khayal yang dipadukan, persis seperti bait syair yang ditulis Abu Nuwas dalam "Syair Taubat" nya yang terkenal.
Ajang kebudayaan Indonesia dalam tema besar Fashion Week 2018, memang seharusnya lebih dapat memberikan nuansa estetika sekaligus etika dalam balutan ragam "busana", tanpa membandingkan atau membedakan apalagi merendahkan budaya lainnya. Pun ketika dibacakan puisi di dalamnya, maka keterpaduan nalar-khayal menjadi perlu, agar puisi tak sekadar khayalan terlebih bualan. Karena takhayul dalam puisi hanya merekonstruksi dunia mitos, kepercayaan, atau misteri, tanpa pijakan pada kekuatan daya nalar yang pasti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H