Hingar-bingarnya panggung politik jelang pesta demokrasi 2019 sudah sejak jauh-jauh hari telah dimulai. Tidak saja menghadirkan wajah-wajah baru yang mulai menapaki panggung, namun para elit politik mulai turun gunung, menjajakan "dagangan" politiknya. Istilah "elit politik" tentu saja berkonotasi pada tokoh atau figur pemimpin suatu partai politik yang umumnya selalu saja menjadi perhatian publik.Â
Jadi, jika kemudian ada yang menyatakan dirinya sebagai elit politik yang sudah bertobat, paling tidak dirinya sudah tak lagi tertarik dengan dunia politik kekuasaan. Inilah barangkali sinyal yang dimaksudkan Prabowo Subianto ketika berpidato dalam acara kampanye calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat, Sudradjat-Ahmad Syaikhu di Depok, Minggu (1/4/2018).
Dalam laman kompas.com, Prabowo secara tegas menyebutkan bahwa dirinya adalah elite yang bertobat, itu artinya kemungkinan besar dirinya kapok menjadi elite dan bisa saja tak akan melibatkan diri dalam bursa calon presiden, lebih memilih menjadi "king maker" mempersilahkan kader-kader potensial untuk mengikuti ajang kontestasi politik tahun depan.
Tidak menutup kemungkinan, beberapa nama yang saat ini sedang digodok oleh parpol pendukung Prabowo akan dideklarasikan pada beberapa hari kedepan. Bahkan, dalam pidato Prabowo di Depok, tanpa segan-segan dia menuding dimana sejauh ini banyak elit yang bodoh dan bermental maling sehingga mendorong Ketua Umum Gerindra ini segera "pensiun" sebagai elit politik.
Semakin dekatnya ajang pesta demokrasi, semakin nampak ucapan-ucapan elit politik yang semakin terbawa nuansa "perebutan" kekuasaan. Tepat beberapa hari yang lalu, salah satu ucapan elit politik yang menuding dengan kasar keberadaan Kementrian Agama bertanggungjawab dibalik maraknya kasus penipuan umrah, kini terucap kalimat yang sulit untuk tidak dikatakan beretika.Â
Panggung politik yang sedemikian memanas, kontras sekali dengan kurang kontrolnya para elit politik dalam mengelola komunikasi. Atau mungkin inilah strategi politik elit dalam hal mencari pengaruh dan mendapatkan peran secara lebih signifikan di panggung politik: membangun perspektif negatif bagi lawan politik dengan cara menuding, memfitnah, atau mencaci, demi tujuan-tujuan kekuasaan.
Uniknya, mereka yang dianggap sebagai figur netral dalam konteks politik-kekuasaan, seperti ulama atau tokoh agama juga ikut-ikutan masuk dalam pusaran "konflik" elit politik. Saya kira, pernyataan Ketua Umum MUI, KH Ma'ruf Amin yang mengomentari pidato Ketua Umum Gerindra soal tudingannya bahwa banyak para elit yang bodoh dan bermental maling agar segera saja ditunjuk langsung siapa yang dimaksud, mendorong suasana konflik para elit politik semakin melebar.Â
Padahal, ungkapan salah satu wakil rakyat yang menuding pihak kementrian agama dengan kata-kata kasar, apalagi terkait penipuan berkedok ibadah, tak pernah dikomentari sama sekali. Hal ini, saya kira, akan menimbulkan pretensi buruk dalam benak publik yang pada akhirnya cenderung menilai MUI telah masuk dalam pusaran konflik para elit politik.
Ulama, saya kira juga merupakan elit karena strata sosialnya yang cenderung dianggap istimewa oleh publik. Saya justru khawatir, ketika salah satu petinggi MUI sudah berpolitik, maka sulit rasanya untuk menempatkan para ulama sebagai pembimbing umat yang netral pada akhirnya. Ketika para elit sudah ikut terlibat dalam suasana konflik, maka masyarakat non elitis pasti akan terkena imbasnya: berkonflik dan saling mencurigai satu sama lain.Â
Reaksi pihak MUI terhadap pidato Prabowo ini saya kira akan digoreng lagi menjadi isu-isu politik yang menyudutkan MUI menjadi lembaga negara yang tak lagi "netral" dalam hal politik.
Saya teringat akan salah satu ucapan Nabi Muhammad yang begitu terkenal, "Jika tak bisa berbicara baik, maka diamlah!" (falyaqul khairan aw liyashmut). Nabi tidak menyuruh untuk berkata "benar" tetapi berkata "baik", dimana kebaikan tentu saja bersifat universal yang berdampak pada suasana damai bukan memancing keadaan konflik.Â