Dengan dalih "sakit hati", Arteria kemudian mengeluarkan kata-kata yang sangat tidak patut apalagi disaksikan dan didengar jutaan orang. Sulit untuk tidak mengatakan dalam kasus ini, bahwa publik juga terlampau naif dengan iming-iming harga murah perjalanan umrah, padahal dengan memahami prosedural travelling, dari mulai harga tiket pesawat, perihal biaya hidup dan penginapan dalam berumrah, tentu akan curiga dengan perbedaan harga yang mencolok.
Asumsi saya, siapapun akan geram dengan kasus penipuan umrah ini dan mungkin lebih geram lagi bagi mereka yang jelas-jelas telah menyetorkan dananya kepada pihak travel, tetapi gagal diberangkatkan dan uang mereka hangus. Namun demikian, tak sedikit pula jamaah yang menganggap ini adalah keteledoran dirinya sendiri dan sadar bahwa itu memang musibah, sehingga enggan melaporkan atau membuka aib travel bodong yang telah menipunya.
Saya tetap memberikan apresiasi kepada pihak pemerintah---dalam hal ini Kemenag---yang terus berupaya memperbaiki sistem haji dan umrah agar berjalan lebih baik, meskipun memang terkesan lamban karena mungkin terbentur prosedural kebijakan hukum yang juga berliku-liku.
Alangkah lebih baiknya, seluruh komponen bangsa ini bersinergi, bukan malah menyalahkan atau mencaci-maki, karena peradaban yang kuat jelas dibangun oleh adat dan prilaku yang bermartabat. Saya jadi teringat goresan bait seorang penyair terkenal Mesir, Ahmad Syauqi yang menuliskan, "Sungguh bangsa ini kuat karena mereka menjunjung tinggi prilakunya yang bermartabat, namun jika itu hilang, maka hancur pula bangsa itu".
Akhlak dan prilaku yang bermartabat tentu saja membahagiakan sehingga lebih mudah membangun peradaban. Itulah sebabnya, PBB merilis negara paling bahagia dalam World Happiness Report tahun 2017 dan menempatkan Indonesia pada urutan ke 81 dari 155 negara yang masih jauh dari harapan kebahagiaan. Indonesia nampaknya kurang bahagia, karena masih banyak para elit dan masyarakatnya yang melabrak soal etika.
Lagi pula, salah satu indikator yang diterapkan dalam konteks "negara bahagia" salah satunya adalah faktor "good governance" yang tentu saja sangat besar pengaruh dari para elit politik dalam pemerintahan.
Elit politik akan melahirkan sebuah sistem pemerintahan yang baik dan bermartabat, jika masing-masing bersinergi dalam suasana membahagiakan, sehingga berimbas pada masyarakat di bawahnya untuk mendorong terciptanya penguatan good governance yang bahagia.
Jika sudah terbangun sinergi, maka "mutual trust" akan terbangun dengan sendirinya, tak perlu lagi masing-masing pihak menyimpan kecurigaan yang mendalam karena masing-masing memahami untuk "saling mempercayai" bahwa negeri ini akan hebat, maju, bukan hancur di tahun 2030 mendatang.
Mau bahagia? Lihatlah Norwegia, Denmark, dan Islandia, sebagai negara paling bahagia di dunia dengan memilili tingkat "mutual trust" paling tinggi diantara elit dan rakyatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H