Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

PSI, Ajian Semar Mesem, dan Budaya Politik

5 Maret 2018   16:17 Diperbarui: 5 Maret 2018   19:04 1766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang digawangi anak-anak muda belakangan tampak kian moncer. Bukan saja proses pendiriannya yang yang super cepat---karena memang berkejaran dengan waktu menjadi parpol peserta pemilu 2019---hampir dipastikan partai baru ini tak mendapat kendala apapun dari mulai proses pembentukan, sosialisasi, lolos verikasi KPU baik secara prosedural maupun faktual. 

Lain halnya dengan tiga parpol lainnya yang harus berjibaku "melawan" keputusan KPU dengan menggugat secara administratif ke Bawaslu. Ketiga parpol, baik PBB pimpinan Yusril Ihza Mahendra, PKPI Hendropriyono, dan Partai Idaman si Raja Dangdut Rhoma Irama, serasa masih kecewa karena gagal mendapat tiket sebagai peserta pemilu 2019. Hanya PBB yang baru-baru ini sukses memenangkan gugatannya dan tiket sebagai kontestan di pemilu 2019 sudah dikantonginya.

PSI sepertinya mempunyai "ajian semar mesem" yang konon dalam legenda zaman dahulu merupakan ilmu yang khusus untuk menaklukan hati seseorang atau siapapun dalam banyak hal. Buktinya PSI yang relatif muda dalam kiprah politik, berhasil "menundukkan" banyak pihak, termasuk juga "meluluhkan" hati Presiden Joko Widodo yang saat pertemuannya di Istana Negara, beberapa pengurus PSI dihadiahi tips soal bagaimana meraih kemenangan di pemilu 2019 mendatang. 

Kok bisa? Ya, tentu saja bisa, karena "ajian semar mesem" mampu menembus siapa saja, tak terkecuali Presiden! Pertemuan PSI dan Jokowi di Istana Negara yang semestinya merupakan pertemuan informal---antara kepala negara dan rakyat---memang seharusnya tidak terlampau jauh bicara soal menang-kalah dalam pemilu, cukup nasehat saja yang baik.

Bangsa ini tentu saja sedang belajar menjadi semakin dewasa dalam berpolitik, termasuk bersikap fair dan menerima apapun resiko yang terjadi dalam sebuah proses politik. Kita sedang menuju proses apa yang dinamakan sebagai "pematangan" budaya politik. Semua proses ini terserap secara psikologis dalam diri setiap anak bangsa ke dalam sisi kognitif, afektif, dan terus menerus berdialog dalam ruang-ruang evaluatif. 

Jika dulu, kita masih kaku dan takut-takut dalam berpolitik, kini mulai bebas dan terbuka, bahkan terkadang juga kebablasan. Proses-proses politik yang dulu diatur, ditentukan, dan dipaksakan secara terstruktur melalui pusat dan didistribusikan ke daerah-daerah, kini proses itu relatif terbuka dan bahkan terkesan sangat bebas, karena siapapun boleh berpartisipasi aktif dalam kegiatan politik.

Ketika sebuah budaya politik yang sudah baik tercipta, melalui kematangan dalam hal politik dan seluruh proses-proses yang melingkupinya, maka sudah semestinya tak perlu lagi ada pihak yang menjalankan praktik politik "aji mumpung", sehingga proses belajar kedewasaan berpolitik justru dirusak oleh kondisi-kondisi seperti ini. 

Barangkali, inilah yang menjadi kritik salah satu pakar politik, Siti Zuhro yang dialamatkan pada PSI ketika mengungkap pertemuannya dengan Jokowi di Istana. Dirinya menyebutkan, bahwa sebagai Presiden Jokowi seharusnya mampu merawat etika politik agar nilai-nilai budaya politik yang kompatibel dengan demokrasi, terbangun (detik.com, 5/3/2018).

Sejauh ini, nilai-nilai budaya politik yang ada dan dipedomani oleh seluruh elemen anak bangsa sudah semestinya dimatangkan, bukan kemudian dimentahkan lagi untuk dimasak. Jika budaya politik partisipan yang menjadi ciri dari bangsa ini, maka keberagaman cara pandang terhadap seluruh sistem politik, harus tetap dijaga dan dihargai. 

Presiden sebagai "simbol negara" harus juga bersikap netral dalam berpolitik, bukan malah bersikap tebang pilih atau membedakan mana parpol yang dianggap "menguntungkan" dirinya dan mana yang tidak. Saya kira, "ajian semar mesem" yang ditebar oleh PSI, sepertinya meluluhkan hati Presiden, sehingga terkesan "menganakemaskan" parpol baru ini dan tentu saja membuat parpol lain gerah dibuatnya.

Terlepas dari praktik "ajian semar mesem" PSI yang dikelola sebagai sebuah "siasat" politik, mengedepankan etika politik dalam balutan kematangan budaya, tentu saja harus tetap didahulukan. "Anak muda" yang baik, tentu saja harus memberikan contoh yang baik kepada para "orang tua" yang notabene memiliki segudang pengalaman yang lebih banyak dalam urusan-urusan politik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun