Hampir-hampir saja yang beredar dalam lingkup Pilpres mendatang hanyalah sekadar siapa yang akan mendampingi Jokowi sebagai wapres, bukan penantang kuat dirinya yang secara elektabilitas sulit diunggulkan menjadi capres pesaing. Beberapa parpol oposisi pemerintah memang telah melakukan penjajakan untuk mencoba mengusung nama baru sebagai capres, walupun hampir dipastikan semuanya masih sangat mentah dan rapuh secara elektabilitas. Saya kira, sejarah SBY yang menjaring kekuatan politik hingga mengantarkannya ke kursi kepresidenan hingga dua periode patut juga dijadikan contoh, sebagai bentuk kekuatan oposisi yang mampu mengalahkan figur-figur yang moncer karena terdongkrak oleh banyak lembaga survei.
Untuk sanggup menurunkan Jokowi dari panggung politik, butuh strategi ekstra yang tentu saja memiliki nuansa etika dan moral politik tingkat tinggi, karena dengan cara-cara politik tak santun, dipastikan tak akan berhasil. Elektabilitas atau popularitas, bukan juga menjadi jaminan bagi seseorang memenangkan sebuah ajang kontestasi politik, karena pemilih ketika memilih tidak dilatarbelakangi oleh cara pandang dan keyakinan mereka terhadap hasil olahan lembaga survei, tetapi bagaimana mindset setiap pemilih mampu diarahkan untuk memilih figur yang lebih baik, lebih menjanjikan, dan lebih membela kepentingan mereka, bukan sekadar dipercaya sebagai tokoh yang sama sekali belum teruji kepemimpinannya.
Perlu juga diingat, soal kekuasaan politik adalah soal bagaimana Tuhan ikut campur dan terlibat didalamnya. Kekuasaan itu datangnya dari Tuhan dan Tuhan-lah yang berhak mengangkat atau mencabut setiap kekuasaan yang diberikan kepada manusia. Sehebat-hebatnya manusia, sekuat-kuatnya pendukung dibelakangnya, jika Tuhan belum mengizinkan kekuasaan atasnya, maka jangan harap kekuasaan itu diraih.Â
Bukankah, dalam dunia politik seringkali terjadi hal-hal yang sedemikian? Ada seseorang yang dianggap kuat dan dipastikan menang dalam kontestasi, tetapi tiba-tiba dikalahkan seorang pendatang baru yang tadinya kurang diperhitungkan. Apalagi, maraknya unsur "politisasi agama" belakangan, tentunya harus sudah menyadari bahwa kekuasaan hanyalah milik-Nya, manusia hanya dititipkan sedikit saja atas kekuasaan-Nya.Â
"Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikankekuasaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabutkekuasaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu" (QS Ali Imran: 26). Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H