Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Siti Menjemput Takdir

2 Maret 2018   15:59 Diperbarui: 3 Maret 2018   19:52 716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nada dering sebuah pesan singkat pribadi diterima oleh Gawai milik Paidi, walaupun di waktu yang tidak biasanya. "Siapa malam-malam begini nge-WA?", celetuknya. Dengan sedikit malas, Paidi membaca baris demi baris pesan singkat yang diterimanya, lalu tanpa ekspresi diapun meletakkan gawainya kembali. 

Namun beberapa saat, dia ambil lagi dan membaca untuk kedua kalinya, dan hampir berkali-kali Paidi melakukan hal yang sama. Pesan itu berasal dari seseorang yang sudah dikenalnya sejak 9 tahun yang lalu, Siti yang mengabarkan rasa mohon maafnya dan terima kasih dirinya karena selama ini, Paidi seringkali berbagi banyak hal, soal nasehat, menjadi pribadi yang baik, bahkan tak jarang membantu kekurangan Siti secara finansial. Namun, antara terkejut dan tidak, Paidi seakan tak percaya pada ungkapan kalimat terakhir di pesan singkat itu, "Alhamdulillah, aku dah ketemu jodohku, temen aku sejak SMP, semoga ini takdir baik".

Paidi mengenal Siti pertama kali sudah 9 tahun yang lalu di sebuah Pom Bensin yang tak jauh dari tempatnya bekerja, itupun gara-gara telepon yang salah sambung. "Halo, ini Maya, ya?" kata Paidi disambungan telepon genggamnya. "Maaf, salah sambung", bunyi tulalit tanda telepon dimatikan diterima Paidi. 

Rasa penasaran Paidi semakin menjadi-jadi, malamnya sepulang kerja, dia nekat masih menghubungi nomor salah sambung itu dengan kalimat yang sama. Karena berkali-kali ditelepon, luluh juga akhirnya, dan diujung telepon, seseorang bernama Siti mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan Paidi. "Kapan-kapan ketemu yuk?", rayunya suatu hari. "Ya boleh saja, mau ngapain?", jawab suara diujung telepon. "Ya, ketemu aja dulu, aku tunggu di Pom Bensin, dekat perumahan Pondok Modern", lanjut Paidi. Inilah awal mula Paidi dan Siti bertemu dan berbagi cerita hingga kemudian menjalin keakraban hingga 9 tahun lamanya.

6 bulan belakangan ini, hubungan keduanya tampak hambar, mungkin karena waktu yang terlampau panjang dan membosankan. Lagi pula, Paidi selalu memberikan kebebasan kepada Siti untuk mencari siapa saja jodohnya nanti, karena jodoh itu takdir Tuhan dan sudah dicatat ketika manusia itu lahir. Jadi, kita gak bisa memaksakan apa yang sudah jadi kehendak Tuhan. 

Paidi meyakini, walaupun jodoh tetap menjadi bagian dari ketetapan Tuhan, tetapi manusia harus berupaya untuk menemukannya, dengan cara mencari, berdoa dan membuka jalinan sosial yang lebih luas. Siti rupanya telah siap menjemput takdir, jodohnya yang selama 9 tahun ini dinantinya ditengah jalinan pertemanannya dengan Paidi yang semakin membekas.

Entah kenapa, hampir setiap hari Siti mengungkapkan perasaan maafnya yang dikirimkan lewat pesan singkat pada Paidi, walaupun Paidi tampak merespon biasa saja. "Ya sudahlah, jemput takdirmu, semoga ini pertanda baik, karena menolak takdir sama dengan melewan kehendak-Nya", jawab Paidi dalam sebait pesan singkat yang dikirim untuk Siti. "Tapi, aku masih sayang, aku masih pengen ketemu kamu," iba Siti diujung pesan singkatnya. 

Paidi hanya menghela nafas panjang, sulit untuk menggerakkan jarinya, kaku untuk mengarahkan telunjuknya pada touch screen gawai android yang dimilikinya. "Jika Tuhan menghendaki, nanti juga pada akhirnya kita bertemu". Jawaban Paidi seakan membuat Siti merasa bersalah, tetapi dirinya pun tak paham dimana salahnya.

Hari-hari Siti masih diliputi kebimbangan, antara sedih dan senang, antara harapan dan kesalahan, antara menerima takdir Tuhan atau mencoba merubahnya. Yang didengar Paidi, Siti akan dilamar pada pertengahan bulan ini dan pernikahan akan digelar pada pertengahan bulan berikutnya. Tanpa harus mencari tahu, Siti telah jujur pada Paidi, bahwa temennya sejak SMP justru hadir mengisi hari-harinya disaat dirinya sedang membutuhkan seseorang yang dapat diajak berbagi. 

Ini-pun adalah jawaban atas doa dirinya yang selalu dipanjatkan, agar Tuhan segera "menurunkan" jodoh untuk dirinya, karena selain sudah cukup umur, Siti sudah di-bully temen-teman sebayanya yang setiap kali reuni sudah membawa anak mereka masing-masing sedangkan Siti teteplah jomblowati.

"Aku jadi benci!", ungkap Siti pada Paidi di sebuah pesan singkat. "Benci, kenapa harus berjodoh dengan dia, kamu lebih dewasa, dia masih kaya anak-anak!", lanjutnya. Paidi tetap slow respon, membalas atau menjawab seperlunya pesan singkat yang hampir masuk ke gawainya setiap beberapa menit. Namun, Paidi tetap menenangkan, "Kamu kan baru mengenal dia enam bulan, belum apa-apa, jangan dibandingin dengan yang udah tahunan," sanggah Paidi membalas pesan singkat Siti. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun