Bahkan yang menjadi tanda tanya, tak ada satupun klarifikasi atau pernyataan dari pihak pemerintah yang menyesalkan kejadian di Arab Saudi, padahal telah ditegur oleh otoritas disana. Apakah ini terkait dengan latar belakang menteri agamanya yang punya afiliasi dengan ormas tertentu yang justru melakukan pembelaan terhadap umrah "berlebihan" ini? Wallahu a'lam.
Jadi, bagi yang merasa itu bukan bagian dari "ghuluw" maka sama halnya mereka telah berbuat sikap yang berlebihan dalam agama, pun mereka selama ini menganggap sebagai kelompok yang paling moderat dalam beragama. Sesuai dengan pengertian "ghuluw" sendiri yang bagi saya cukup komprehensif (jaami' maani'), dimana yang dimaksud adalah "al-irtifaa'u fis syay'i, wa tajaawazu al-haddi fiihi" (merasa paling tinggi/paling benar dan bersikap melampaui batas).
Jika sebuah ibadah sudah ditetapkan syariatnya, baik ucapan dan tata caranya, lalu ditambahkan dan dibela sebagai perbuatan yang dianggap benar, lalu siapa yang sebenarnya melampaui batas?
Itulah kenapa kemudian, Ibnu Taimiyah menyebut dalam kitabnya "Iqtidlaaus Shirathi al-Mustaqim Li Mukhalafati Ashabi al-Jahim" bahwa mereka yang berlebihan dalam beragama umumnya juga berlebihan dalam banyak hal, termasuk memberikan pujian atau membenci secara berlebihan (ziyaadu fi hamdihi wa dzammihi).
Hal senada diungkapkan Ibnu Hajar Al-Asqallani dalam karyanya Fathul Bari, ketika mengomentari soal "ghuluw" dalam agama menyebutkan adanya "kekakuan" yang sedemikian akut (al-mubalaghatu fis syay'i) dan kecenderungan yang terlampau berlebihan dalam kaitannya dengan agama (at-tasydiid fiihi bitajawizi al-hadd) sehingga kemudian melampaui batas-batas ajaran agama secara wajar.
Dari sini kita tampak dapat melihat, betapa kelompok-kelompok yang dikenal berlebihan dalam sikap beragama akan tampak cenderung fanatik dan selalu mencari pembenaran bagi dirinya sendiri, enggan disebut sebagai kelompok yang memiliki cacat atau kelemahan.
Padahal, siapapun, kelemahan dan kecacatan itu pasti ada dan bagaimana semua itu ditutupi dengan cara terus menerus mengkaji dan menggali kebenaran. Kritik tentu saja harus diterima dan diperbaiki, karena bagaimanapun kesempurnaan hanyalah milik Allah, dan kita sebagai manusia hanya berupaya terus meyempurnakan tanpa harus alergi dengan kritik.
Jadi, bersikaplah wajar dalam beragama, tak perlu berlebihan apalagi melampaui batas, karena sikap berlebihan tentu akan merusak dan menghancurkan umat, bukannya memberi manfaat dan maslahat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H