Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Seaman-amannya di Negeri Orang, Lebih Nyaman Negeri Sendiri

21 Februari 2018   10:38 Diperbarui: 24 Februari 2018   21:42 3400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pimpinan Front Pembela Islam, Rizieq Shihab (KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG)

Isu kepulangan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Sihab (HRS) kembali sekadar isapan jempol, setelah sebelumnya juga sama, isu HRS "pulang kampung" masih tetap menjadi tandatanya. Lalu, kenapa sedemikian besar informasi ini mencuat ditengah publik? Hingga banyak titik kumpul massa yang gembira atas kedatangannya ke tanah air? 

HRS memang merasa "aman" di negeri orang, walaupun saya rasa, kerinduannya yang begitu dalam pada Indonesia sebagai negeri paling nyaman di dunia, sulit dibendung. Padahal, sebagai seorang warga negara yang baik, cinta NKRI, terlebih sebagai publik figur yang dielu-elukan banyak orang, tidak seharusnya khawatir berlebihan akan kondisi ketidaknyamanan di negeri ini. "Pulanglah Bib!" Kalimat itu sepertinya terlontar dari banyak pihak, baik mereka yang kontra terhadap HRS, terlebih bagi para pendukung setianya.

Saya jadi teringat kisah seorang ulama dan pejuang muslim, Sayyid Quthb, yang tetap konsisten dijalurnya, sebagai tokoh pengkritik keras pemerintahan Gamal Abdul Nasser di Mesir. Dirinya tak pernah sedikitpun mundur atau mengasingkan diri ke negeri orang. Quthb dengan gerakan Ikhwanul Muslimin-nya tetap menyuarakan keadilan, kesejahteraan, dan mengutuk segala jenis kediktatoran yang dijalankan pemerintahannya. 

Penjara, sepertinya menjadi tempat berteduh dan menyalurkan segala pemikiran dan daya akalnya untuk menulis, bahkan karya tafsirnya yang monumental "Fi Dzilalil Quran" (Dibawah Naungan Al-Quran) menjadi kitab "tafsir politik" yang banyak dijadikan rujukan umat muslim di seluruh dunia. Konon, kitab ini ditulis Quthb selama hari-harinya dihabiskan dari penjara ke penjara, hingga akhirnya dia syahid di tangan algojo Mesir pada 29 Agustus 1969.

Saya tidak sedang membandingkan HRS dengan Sayyid Quthb, karena jelas tidak aple to aple, mengingat jeratan hukum yang ditimpakan kepada HRS bukanlah soal makar, tetapi soal "chat mesum" yang sampai kini-pun masih belum kuat bukti-buktinya. Jikapun ada kasus lain yang dilaporkan, itu sebatas delik ringan, seperti penghinaan lambang negara yang itupun perlu pembuktian lebih lanjut. 

Lagipula, perjuangan Sayyid Quthb tidak dalam momentum pergerakan, namun lebih jauh dari itu, daya nalarnya yang kuat, terus ditumpahkan melalui tulisan-tulisan dirinya yang sangat berpengaruh terhadap dunia pergerakan politik di Mesir. Quthb, lebih dikenal sebagai seorang pemikir, kritikus yang ditakuti, dan juga sastrawan yang lebih menusuk langsung kepada jantung para pembacanya, dibanding seorang tokoh gerakan politik.

Melihat fenomena HRS yang tak kunjung pulang ke negeri asalnya, seakan menyiratkan dampak buruk, tidak saja kepada para pendukungnya yang setia, namun pada konsekuensi penegakan hukum di negeri ini. Pandangan sebagian orang kepada HRS, tentu saja beragam dan yang paling banyak menjadi pertanyaan, kenapa dirinya tak pulang-pulang? HRS bukanlah figur "Bang Thoyib" yang dikenal masyarakat melalui lagu yang dipopulerkan oleh grup Waliband. 

Tidak menutup kemungkinan, ada sebagian masyarakat yang tampak nyinyir memandang soal ini, bahkan menganggap HRS sebagai figur "penakut" yang tak berani menghadapi konsekuensi hukum di negeri ini. Kontras dengan pembawaannya yang tampak "garang" ketika memimpin serangkaian demonstrasi atau menyampaikan ceramah keagamaannya ditengah masyarakat.

HRS tentu saja telah mengecewakan banyak pihak, termasuk para pendukungnya yang telah setia menanti kehadirannya bahkan sejak tahun lalu. Berbagai spanduk dibentangkan untuk sekadar meluapkan kegembiraan akan kehadiran HRS yang selama ini dinanti-nanti banyak pihak. Bahkan, mobil Toyota Fortuner dengan nomor B1FPI, telah disiapkan sebagai kendaraan penjemput dirinya yang bahkan lebih dulu viral di media sosial. Namun apa boleh buat, lagi-lagi HRS bak figur "Bang Thoyyib" yang mungkin jarang pulang, karena sudah dua kali isu kepulangannya, tetapi tak kunjung menuai kepastian.

Saya kira, Indonesia merupakan negeri ternyaman untuk ditinggali, karena apapun bisa dilakukan disini, tanpa dipersulit oleh barbagai macam aturan seperti di negeri orang. Hal ini tentu saja sangat dirindukan HRS, bertemu para pengikutnya, disanjung, dihormati, diundang ke berbagai majelis pengajian yang tak jarang diselingi kalimat "takbir" yang membahana. 

Seharusnya, sebagai sosok yang mempunyai watak pejuang, tak perlu takut terhadap segala macam ancaman, hadapi saja, karena negeri ini adalah negeri paling aman. Indonesia tak mungkin menjadi seperti Suriah, Irak, atau Yaman, yang setiap detik selalu diintai oleh ancaman keamanan. Saya kira, kepulangan HRS yang sedemikian dinanti-nanti menunjukkan, betapa sosok ini penting dan mampu memberikan dampak baik baik kemajuan negeri ini, dalam soal penegakkan hukum, kedamaian, dan persatuan.

Saya justru membayangkan, ketika HRS tak kunjung pulang, betapa para pengikutnya semakin kehilangan arah, bak anak ayam kehilangan induknya, diombang-ambing tanpa arah yang jelas kemana tujuan-tujuan "kepolitikan" mereka. Yang paling disesalkan, sudah berapa biaya yang dikeluarkan oleh mereka yang dengan suka rela mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut kedatangan sang imam besarnya, kembali ke pangkuan mereka. 

Bukankah jika sebuah organisasi tanpa pemimpin itu akan pincang? Terlebih sosok HRS di FPI adalah pucuk tertinggi dari sebuah ormas yang bersifat nasional, memiliki cabang-cabang yang hadir di setiap sudut Nusantara. Apakah ini juga yang kemudian menjadi alasan bahwa ormas ini lambat-laun akan membubarkan diri? "Bib, pulanglah"! Kata ini terus menggema, tidak saja disebut oleh pendukungnya, tetapi juga oleh mereka yang selama ini kontra terhadap dirinya.

Saya sedikit berasumsi, barangkali soal isu keamanan yang menjadi ganjalan HRS yang tak kunjung pulang ke negerinya sendiri. Padahal, seorang ulama akan lebih banyak merasa takut kepada Tuhannya, dibanding ketakutan dirinya kepada hal yang lain. "Innama yakhsyallahu min 'ibadihi al-'ulamaa" (Sesungguhnya orang yang paling takut kepada Allah diantara sekian banyak hamba-Nya, hanyalah para ulama), demikian penggalan ayat suci Al-Quran, surat Faathir: 28. 

Ulama, bukan saja memiliki kedudukan istimewa disisi Tuhan, karena keilmuannya yang sedemikian tinggi, sehingga membawa dirinya selalu merasa takut hanya kepada Tuhannya, bukan yang lain. Tak perlu ada yang dikhawatirkan dari negeri teraman di dunia ini, walaupun seaman-amannya di negeri orang, pasti lebih nyaman di negeri sendiri. Tak perlu ada yang dikhawatirkan apalagi ditakuti, karena ulama lebih takut kepada sang Maha Pencipta, bukan kepada yang diciptakan-Nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun