Nampaknya, seluruh tudingan itu sengaja mendiskreditkan Jokowi sebagai seorang muslim dan justru pada hari itu terbantahkan. Bagaimana tidak, siapapun hampir sulit untuk menyempatkan waktu salat tepat di awal waktu, terutama bagi mereka yang sangat sibuk, apalagi seorang kepala negara yang harus taat aturan protokoler.Â
Muhib, menyebut Presiden Jokowi sebagai "Presiden Waqita" (kepala negara yang menghargai waktu, terutama waktu salat) yang mungkin sulit ditemukan dalam diri presiden-presiden yang lainnya di negeri ini. Lalu, apakah salat magrib tepat waktu di tengah-tengah rest area kecil yang tidak banyak diketahui publik adalah pencitraan? Saya rasa anda dapat menilainya sendiri.
Rasanya biasa, ketika kebanyakan diantara kita sibuk mengurusi orang lain, walaupun tanpa disadari sebenarnya urusan diri sendiri kita malah terbengkalai. Saya malah teringat akan sebuah ayat dalam kitab suci Al-Quran yang menyebutkan, "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu (memata-matai) mencari-cari kesalahan orang lain" (Al-Hujurat: 12).Â
Hampir dipastikan, kita terlampau sibuk mencari-cari kesalahan orang lain dan luput untuk menimbang kesalahan diri kita sendiri. Lihatlah beragam unggahan yang beredar di media sosial, betapa kita kebanyakan hanya menggunjing, mencari kesalahan, dan memata-matai orang lain, sehingga diri kita sendiri yang lebih besar kesalahannya malah cenderung tak pernah diperbaiki.
Bagi saya, soal ibadah---apalagi salat---tak dapat dimaknai secara politis, karena salat merupakan kewajiban pribadi setiap muslim yang mukallaf, sadar bahwa itu bukan sekadar "kewajiban" agama, tetapi merupakan "kebutuhan" seseorang untuk sejenak "berdialog" dengan Tuhannya.Â
Yang paling sulit justru adalah menjaga waktu-waktu salat yang harus tepat waktu dan yang terbaik adalah menjalankannya di awal waktu (afdhal), bukan di pertengahannya (khiyar), apalagi dilakukan di akhir waktu (makruh). Saya kira, tidak menutup kemungkinan, bahwa Jokowi pada saat menjadi makmum salat jamaah maghrib di Masjid Zahida rest area TMII adalah dalam rangka dirinya menjaga keutamaan waktu salat bukan hal lain terkait politik pencitraan.
Kunjungan Presiden Jokowi ke Afghanistan kali ini adalah kunjungannya yang fenomenal, karena setelah 57 tahun, Presiden Indonesia menginjakkan kembali kakinya di sana.Â
Ditengah berkecamuknya konflik sosial-keagamaan, Jokowi tampak tak bergeming untuk tetap mengunjungi Afghanistan. Konflik yang berkepanjangan membuat negara ini semakin jatuh terpuruk dalam kondisi kekacauan, meningkatnya pengangguran dan kemiskinan. Kehadiran Jokowi sebagai bagian dari muslim Indonesia, diharapkan dapat memberi pengaruh bagi perdamaian di Afghanistan, sehingga mampu mengurai beragam konflik yang pernah terjadi.
Kita tentu patut berbangga menjadi warga negara Indonesia, yang walaupun berada dalam kultur masyarakat yang heterogen, namun tetap menjaga citra kesatuan dan persatuan dalam payung besar ideologi negara: Pancasila.Â
Melalui payung besar ideologi inilah bangsa ini tetap utuh dan kokoh, tak mudah dihantam konflik kemanusiaan apalagi sampai berkepanjangan, walaupun ditengah perbedaan paham ideologi politik dan keagamaan yang semakin menajam.Â
Kultur "Islam moderat" di Indonesia telah tumbuh subur, menghunjam sangat dalam pada diri kepribadian masyarakat muslimnya, sehingga perbedaan-perbedaan apapun yang sedikit saja mengarah pada suasana konflik yang lebih besar, mudah terabaikan.Â