Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Islam Nusantara dan Soal Akulturasi Agama-Budaya

27 Januari 2018   11:49 Diperbarui: 28 Januari 2018   15:17 2780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI - ( KOMPAS IMAGES/BANAR FIL ARDHI )

Watak agama sesungguhnya adalah sebagai perekat solidaritas sosial karena nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan di dalamnya. Sudah tentu, agama berasal dari tradisi yang dimodifikasi oleh para pembawa pertamanya disesuaikan dengan apa yang dia yakini berasal dari perintah Tuhan. Seorang pembawa ajaran agama (nabi) mulanya menganggap agama adalah persoalan individual, karena jelas apa yang dimaksud oleh perintah Tuhan hanya dipahami dan dijalankan oleh seseorang yang dipilih-Nya untuk menjadi penyebar agama kepada masyarakatnya. 

Kemunculan sebuah "agama baru" dalam masyarakat tidak mungkin menjauhkan diri dari beragam tradisi atau nilai-nilai kemasyarakatan yang dianut, agama selalu mengikuti dan menyesuaikan dengan berbagai tradisi yang ada dan bukan memberangusnya sama sekali. Dengan demikian, agama adalah cerminan dari tradisi masyarakat itu sendiri dan secara lebih sederhana, agama adalah warisan tradisi bukan sebaliknya.

Islam sebagai agama setelah dibawa oleh Nabi Muhammad merupakan agama baru dibanding agama-agama kuno lainnya, seperti Nasrani atau Yahudi. Islam lahir dari sebuah kondisi kebodohan (jahiliyah) bangsa Arab dan hampir-hampir waktu itu, bangsa Arab tidak mempunyai peradaban sama sekali. Situasi kekacauan masyarakat yang barbar, nomaden, penuh dengan kekerasan, tak bermoral adalah ciri utama bangsa Arab sebelum Islam, kemudian mendorong seseorang bernama Muhammad mulai peduli untuk memperbaiki "kerusakan total" lingkungan masyarakatnya. 

Muhammad pada awalnya, mengisi hari-hari kehidupannya dengan ber-tahannuts atau berada dalam ruang-ruang keheningan yang sepi dari hiruk-pikuk masyarakat, berdoa dan memohon kepada Tuhan agar kondisi carut-marut bangsanya dapat segera terselesaikan. Muhammad seringkali menyepi di sebuah bukit yang bernama Jabal Nur, beberapa kilometer dari pusat kota Mekkah untuk sekadar menjauhi keramaian masyarakat Arab.

Kehidupan Muhammad dalam keheningan jiwanya, senantiasa dituntun oleh warisan tradisi nenek moyangnya, Nabi Ismail yang secara turun temurun menganut agama bapaknya, Ibrahim, yakni agama ketauhidan (millah) yang hanif. Seluruh warisan tradisi yang berasal dari Ibrahim, seperti berkhitan, berhaji ke baitullah (Mekkah), dan berpuasa masih tetap dijalankan Muhammad yang mentradisi dalam keluarga dan masyarakatnya. 

Masa Nabi Muhammad sudah dikenal istilah "agama" atau dalam bahasa Arab "ad-diin" dan seluruh masyarakat Arab berbaur dalam nuansa  perbedaan keyakinan dan agama, tanpa dibatasi oleh sekat-sekat tradisi diantara mereka. Agama tetap dianggap sebagai warisan dari tradisi nenek moyang mereka yang tetap dipegang-teguh tanpa adanya paksaan atau tekanan dari kelompok-kelompok agama lainnya.

Oleh karena itu, seorang ahli bahasa dan antropolog Arab, Ibn al-Mandzur (1232 M) menyebut bahwa istilah "ad-diin" yang berarti "agama" mengacu pada "suatu adat atau tradisi yang diikuti" (ad-ddinu huwa al-'aadatu wa as-sya'n). Agama tentu saja berimplikasi pada adanya ketaatan setiap  pemeluknya untuk tetap menjaga dan melestarikan tradisinya yang baik dan meninggalkan tradisi lainnya yang dianggap buruk.

 Tradisi-tradisi sebelum Islam, seperti praktek khitan, haji, berpuasa, pernikahan, soal pembagian warisan dan lainnya merupakan peninggalan tradisi Ibrahim yang tetap dijunjung tinggi dalam adat masyarakat Arab, termasuk bagian tradisi keagamaan yang dijalankan oleh Muhammad pra-Islam. Agama dengan demikian adalah "warisan" dari tradisi-tradisi masyarakat atau kepercayaan sebelumnya yang saling melengkapi dan tentu saja agama berkecenderungan untuk memperbaiki setiap "penyimpangan" sebuah tradisi.

Agama dan tradisi atau budaya kemudian menjadi pola hidup yang "bernilai" di tengah masyarakat karena mampu merekatkan kehidupan sosial secara lebih harmonis. Kita tentu sadar dan tahu bahwa sejarah bangsa Indonesia sejak dulu, tidak pernah ada sama sekali pertentangan soal keberagamaan yang dihadapkan dengan tradisi. Agama tidak pernah sama sekali menjadi sekat dalam kehidupan sosial, tetapi agama justru mampu menjadi perekat tradisi yang "berserakan". 

Masyarakat beragama tentu saling menghormati dan menghargai perbedaan tradisi yang ada tanpa harus mempertentangkannya. Masyarakat tidak perlu belajar secara mendalam soal agama dari kitab-kitab keagamaan yang tersedia, mereka cukup mendengar dan mentaati pitutur para kiai kampung atau ulama setempat tentang bagaimana bersosialisasi secara baik dengan masyarakat.

Cermin masyarakat terdahulu adalah soal ketaatan mereka terhadap tradisi dan agama, sehingga beragama benar-benar dipahami sebagai keyakinan yang melekat secara pribadi kedalam hati masing-masing pemeluknya, tidak diungkapkan menjadi "perbedaan" tatkala berada dalam lingkungan masyarakat. Hal ini selaras bahwa agama pada awalnya adalah masalah individual, seperti Islam yang pertama kali diturunkan kepad Nabi Muhammad bercorak "individualistik". 

Islam secara individu lebih dahulu dipahami dan diaplikasikan oleh diri Nabi sendiri, sebelum kemudian menjadi bersifat sosial, ketika agama itu menyebar dan diyakini menjadi "tradisi" oleh sebagian masyarakat. Persoalan baru muncul justru ketika agama bersentuhan dengan realitas sosial, karena persoalan yang tadinya individual kini berubah menjadi entitas sosial sehingga butuh sebuah kebijaksanaan agar agama tetap berfungsi menjadi perekat dan penguat ikatan-ikatan sosial.

Menarik ketika kemudian, keberislaman di Indonesia terkait erat dengan tradisi dan budaya masyarakatnya, sehingga muncul istilah "Islam Nusantara" yang dipopulerkan kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Tidak hanya Islam Nusantara sebenarnya, bahwa Islam Arab-pun terkait dengan tradisi masyarakat Arab yang diperkenalkan oleh Nabi Ibrahim yang secara turun temurun diwariskan hingga kepada Nabi Muhammad dan akhirnya sampai kepada kita saat ini. 

Mempertentangkan agama dengan warisan tradisi, bisa jadi ahistoris, terlebih menganggap bahwa Islam bukanlah "agama turunan" yang dibawa oleh orang tua dan leluhur kita. Bukankah Nabi Muhammad juga sama mengikuti agama Ibrahim dan tidak pernah mempersoalkannya? Bahkan Nabi Muhammad bangga dengan agama yang diwariskan Ibrahim dan menolak ajakan untuk mengikuti agama Yahudi  dan Nasrani yang ditawarkan kepadanya (Lihat misalnya, surat Al-Baqarah: 135).

Saya muslim dan saya beragama karena warisan dari orang tua saya dan terus menerus dari keturunan yang diatasnya hingga sampai kepada Nabi Muhammad dan puncak tertinggi adalah agama warisan dari Nabi Ibrahim. Agama dan tradisi atau budaya jelas tak mungkin dipisahkan, karena selalu "menyesuaikan" dan berakulturasi dalam ruang hidup kemanusiaan. 

Hampir dipastikan seluruh agama bermuara pada nenek moyang yang sama, dan masing-masing diyakini sebagai kebenaran oleh para pemeluknya. Tuhan-pun tidak pernah membedakan manusia karena agama, justru yang ada adalah perbedaan kesukuan, kekelompokkan dan kebangsaan sehinnga manusia dapat saling mengenal (ta'aruf). Agama bukan menjadi "sekat" dalam kehidupan sosial, apalagi keluar dari "sunnatullah"nya, sebagai perekat dan pemersatu realitas sosial secara turun temurun.

Memang, istilah "Islam Nusantara" yang digaungkan NU seakan melahirkan "konflik horiziontal", padahal sesungguhnya, NU sedang memperkenalkan bahwa agama itu tak bisa lepas dari unsur tradisi dan budaya sebagaimana diungkapkan sejararawan Arab, Ibnul Mandzur.

 Islam Nusantara tidak berarti "membedakan" antara Islam Arab atau bukan Arab, tetapi lebih diarahkan untuk lebih memahami, bahwa Islam yang hadir di Nusantara tak pernah "mempertentangkan" antara agama dan tradisi atau budaya masyarakat setempat, karena agama dan budaya pada awalnya satu entitas, bukan terpisah. 

Bahkan, jika dalam konteks kesejarahan yang lebih luas, tradisi dan budaya lebih dahulu ada dalam masyarakat, jauh sebelum agama itu datang. Secara fenomenologis, Jahiliyah mendahului Islam, walaupun secara substansial, Islam mendahuluinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun