Islam secara individu lebih dahulu dipahami dan diaplikasikan oleh diri Nabi sendiri, sebelum kemudian menjadi bersifat sosial, ketika agama itu menyebar dan diyakini menjadi "tradisi" oleh sebagian masyarakat. Persoalan baru muncul justru ketika agama bersentuhan dengan realitas sosial, karena persoalan yang tadinya individual kini berubah menjadi entitas sosial sehingga butuh sebuah kebijaksanaan agar agama tetap berfungsi menjadi perekat dan penguat ikatan-ikatan sosial.
Menarik ketika kemudian, keberislaman di Indonesia terkait erat dengan tradisi dan budaya masyarakatnya, sehingga muncul istilah "Islam Nusantara" yang dipopulerkan kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Tidak hanya Islam Nusantara sebenarnya, bahwa Islam Arab-pun terkait dengan tradisi masyarakat Arab yang diperkenalkan oleh Nabi Ibrahim yang secara turun temurun diwariskan hingga kepada Nabi Muhammad dan akhirnya sampai kepada kita saat ini.Â
Mempertentangkan agama dengan warisan tradisi, bisa jadi ahistoris, terlebih menganggap bahwa Islam bukanlah "agama turunan" yang dibawa oleh orang tua dan leluhur kita. Bukankah Nabi Muhammad juga sama mengikuti agama Ibrahim dan tidak pernah mempersoalkannya? Bahkan Nabi Muhammad bangga dengan agama yang diwariskan Ibrahim dan menolak ajakan untuk mengikuti agama Yahudi  dan Nasrani yang ditawarkan kepadanya (Lihat misalnya, surat Al-Baqarah: 135).
Saya muslim dan saya beragama karena warisan dari orang tua saya dan terus menerus dari keturunan yang diatasnya hingga sampai kepada Nabi Muhammad dan puncak tertinggi adalah agama warisan dari Nabi Ibrahim. Agama dan tradisi atau budaya jelas tak mungkin dipisahkan, karena selalu "menyesuaikan" dan berakulturasi dalam ruang hidup kemanusiaan.Â
Hampir dipastikan seluruh agama bermuara pada nenek moyang yang sama, dan masing-masing diyakini sebagai kebenaran oleh para pemeluknya. Tuhan-pun tidak pernah membedakan manusia karena agama, justru yang ada adalah perbedaan kesukuan, kekelompokkan dan kebangsaan sehinnga manusia dapat saling mengenal (ta'aruf). Agama bukan menjadi "sekat" dalam kehidupan sosial, apalagi keluar dari "sunnatullah"nya, sebagai perekat dan pemersatu realitas sosial secara turun temurun.
Memang, istilah "Islam Nusantara" yang digaungkan NU seakan melahirkan "konflik horiziontal", padahal sesungguhnya, NU sedang memperkenalkan bahwa agama itu tak bisa lepas dari unsur tradisi dan budaya sebagaimana diungkapkan sejararawan Arab, Ibnul Mandzur.
 Islam Nusantara tidak berarti "membedakan" antara Islam Arab atau bukan Arab, tetapi lebih diarahkan untuk lebih memahami, bahwa Islam yang hadir di Nusantara tak pernah "mempertentangkan" antara agama dan tradisi atau budaya masyarakat setempat, karena agama dan budaya pada awalnya satu entitas, bukan terpisah.Â
Bahkan, jika dalam konteks kesejarahan yang lebih luas, tradisi dan budaya lebih dahulu ada dalam masyarakat, jauh sebelum agama itu datang. Secara fenomenologis, Jahiliyah mendahului Islam, walaupun secara substansial, Islam mendahuluinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H