Bukankah para dai yang sering muncul di acara-acara keagamaan tertentu adalah mereka yang mampu mengemas dakwahnya dengan penuh canda-tawa? Alangkah keringnya, jika dakwah keagamaan tak dibumbui candaan atau humor yang menghibur banyak orang, bisa-bisa dakwah tak lagi laku di tengah masyarakat.
Di sinilah saya kira, sulit sekali kemudian membedakan, mana dagelan keagamaan yang dibolehkan dan mana yang dilarang. Apakah terkait konteks di saat kapan ungkapan nyinyir atau kritik terhadap agama itu dilarang atau dibolehkan? Ini saja perlu perdebatan yang panjang, bahkan dapat menguras energi dan belum tentu juga memperoleh kesepakatan.Â
Sampai sejauh ini pun, agama dalam konteks sosiologis-demografis masih saja diperdebatkan, apakah ia "sakral" atau "profan". Sebab, agama dalam perjalanannya justru berubah dari yang tadinya bersifat individual---terutama jika dikaitkan dengan pembawanya pertama kali---kini berubah bersifat sosial, terkait kelompok-kelompok yang mengikatkan diri dengan agama tertentu di dalamnya.
Ungkapan Joshua dalam konteks yang kurang tepat di saat sensitivitas keagamaan menguat, jelas akan menuai banyak masalah. Tidak saja karena ungkapannya yang terkesan "nyinyir" terhadap "klaim" mayoritas keagamaan tertentu yang dianggapnya tak menghargai minoritas, terlebih dengan gamblang menyebut "Islam" secara tersurat dalam ungkapannya tersebut.
Padahal, kenyataannya, soal mayoritas-minoritas keagamaan di Indonesia sejauh ini masih cukup kondusif, kecuali beberapa kasus tertentu pada 2013 silam menyoal minoritas Ahmadiyah yang mendapatkan tekanan serius, bahkan pengusiran dan pembunuhan, namun itu hanya dalam skala lokal tidak menasional.
Kita memang harus pandai menempatkan diri, kapan dan di mana ungkapan sensitivitas menyoal agama dipublikasikan, karena alih-alih kita bercanda dengan kritikan atau dagelan, malah kita sendiri yang pada akhirnya harus berurusan dengan hukum.Â
Walaupun sejauh yang saya pahami, konsep keberagamaan tentu saja terkait soal bagaimana kita mampu memberikan "kegembiraan" kepada pihak lain dan menghindari pertentangan dan menjauhnya orang lain karena sikap keberagamaan kita sendiri.
"Bassyiruu wa laa tunaffiruu, yassiruu wa la tu'assiruu" (berikanlah kegembiraan kepada orang lain dan jangan buat mereka lari darimu, berikanlah kemudahan dan jangan membuat orang lain merasa sulit). Inilah salah satu penggalan hadis Nabi Muhammad yang cukup populer yang kemudian diambil sebagai metode dalam dakwah keagamaan.
Asumsi saya, memang terdapat suasana berbeda soal kapan agama menjadi "dagelan", terkait oleh siapa, kapan, dan dalam konteks seperti apa diungkapkan. Jika dagelan keagamaan diungkap di ranah publik dalam suasana pengajian atau dakwah, umumnya cenderung tak pernah dipermasalahkan atau minimal dianggap wajar oleh masyarakat.Â
Akan lain halnya, ketika agama dibawa dalam konteks perdebatan, talkshow, pidato politik, atau acara komedi, sedikit saja mengungkit agama tetapi dikemas dalam suasana humor, apalagi membuat banyak orang tertawa, akan menjadi persoalan besar dan siap-siap saja ada yang memperkarakannya secara hukum.
Saya sendiri beranggapan, dagelan menyoal agama yang dibawakan Joshua memang dalam konteks menggembirakan orang lain. Walaupun memang terkesan menohok dan nyinyir, tidaklah sampai menghina substansi ajaran Islam itu sendiri. Kecuali dalam hal intonasi dan pemilahan kata yang tidak tepat disampaikan dalam acara humor tersebut.Â