Saya memahami, bahwa betul dimana hadis sesungguhnya dengan beragam perbedaan redaksional (matan) sekaligus banyaknya jalur periwayatan (sanad), kemudian menjadikan statusnya berbeda-beda diantara para ulama hadis.Â
Meskipun, selain ulama hadis apalagi yang belum memahami benar soal 'ulumul hadits, tidak serta merta melakukan penilaian secara langsung, karena pada umumnya mereka sekadar ittiba' (imitasi) terhadap kriteria penilaian status hadis yang sudah terlebih dahulu ada.Â
Selain para ulama hadis, tentu saja tidak gegabah dalam melakukan penilaian terhadap kriteria sebuah hadis, namun mereka tetap meyakini bahwa hadis merupakan sumber otoritatif hukum Islam kedua setelah kitab suci Al-Quran. Karena hadis merupakan sumber hukum Islam yang "kedua" setelah Al-Quran, maka hadis memiliki nilai "kesucian" yang setingkat dibawah Al-Quran.
Pernyataan Ade Armando yang mengomentari hadis bagi saya sangat berlebihan, bahkan dapat menyesatkan, ketika menganggap hadis itu tidak suci, karena hanya Al-Quran saja yang suci.Â
Padahal, jika merujuk pada sebuah ayat Al-Quran yang menyatakan, bahwa apa yang terucap dari lisan Nabi Muhammad tidaklah sesuatu atas dorongan hawa nafsunya (wa maa yanthiqu 'anil hawa), sebab ucapannya itu tiada lain kecuali wahyu yang diwahyukan kepadanya (in huwa illa wahyuy yuuha).Â
Bagi saya, derajat kesucian hadis tidak berkurang karena kondisi status sebuah hadis yang berbeda-beda, karena tetap dianggap sebagai rujukan teks (naql) yang lebih didahulukan daripada akal manusia itu sendiri.
Saya pun merasa heran dengan pernyataan berlebihan dosen komunikasi ini, yang menyebut hadis itu baru 200 tahun ditulis setelah Nabi Muhammad meninggal. Yang benar adalah hadis baru dikumpulkan dan dihimpun secara resmi dan masal sudah sejak pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, kira-kira tenggat waktunya 90 tahun setelah Nabi Muhammad wafat.Â
Bahkan, jika merujuk pada beberapa kajian 'ulumul hadits, penulisan hadis Nabi sudah dilakukan semenjak Nabi masih hidup, walaupun dengan segala keterbatasan karena minimnya jumlah sahabat yang mempunyai kemampuan baik dalam menulis. Saya kira, memang terdapat unsur komunikasi yang justru sengaja diunggah untuk tujuan-tujuan tertentu yang menghendaki polemik ditengah publik.
 Jika melihat pada banyak pernyataan Ade Armando yang menyasar ulama dan agama Islam, wajar jika kemudian disebut telah masuk unsur "pelecehan" yang tidak sekadar dianggap kritik dirinya atas fenomena menguatnya beragam kasus "politisasi agama". Ungkapannya terlampau jauh mengomentari berbagai ajaran Islam yang justru tidak dikuasainya sama sekali.Â
Yang lebih mengkhawatirkan adalah anggapannya terhadap sebuah aktivitas komunikasi yang "bebas nilai", padahal setiap aktivitas manusia---termasuk berkomunikasi---terikat hukum moral dan hukum positif didalamnya. Lagi pula, sebagai pakar dalam bidang komunikasi, sudah semestinya memahami, mana komunikasi yang baik dan membangun dan mana yang buruk dan "merusak".Â
Jikapun harus mengkritik, tentu saja kritik yang membangun dan didahului oleh pemahaman yang baik dari objek yang akan dikritiknya, jika tidak, kritik hanya akan jatuh menjadi kalimat-kalimat "penghinaan" bahkan "pelecehan" yang berimplikasi luas dalam wilayah hukum