Sebuah ungkapan almarhum KH Sahal Mahfudz yang menyatakan, "Politik NU itu diwujudkan dalam peran politik tingkat tinggi, yakni politik kebangsaan, kerakyatan, dan etika berpolitik", paling tidak menunjukkan, peran politik NU seharusnya memang tidak dalam berkompetisi di tingkat daerah, tetapi lebih besar dari itu, bagaimana kader-kader NU mampu bermain pada level "high politics", tidak harus diartikan sekadar terjun dalam kontestasi politik, tetapi memiliki pengaruh yang besar terhadap perubahan-perubahan politik nasional.
Saya kira, kesempatan Yenny Wahid yang saat ini mulai dilirik banyak pihak, sangat disayangkan jika hanya berkompetisi dalam kontestasi Pilkada, karena untuk menuju Pilpres tahun depan, kesempatan bagi dirinya terbuka luas.
Para kiai NU saya kira, akan berperan penting dalam mendorong Yenny untuk terjun dalam kompetisi politik nasional, itulah sebabnya tidak sepakat jika Yenny ikut bursa pencalonan hanya di Pilkada Jatim. Melihat dari tingkat elektabilitas antara Jokowi dan Prabowo, keduanya memang berpeluang besar menjadi capres 2019, hanya saja penentuan soal siapa pendampingnya, tak bisa mengandalkan ukuran lembaga survei.Â
Kemunculan nama Yenny Wahid yang tiba-tiba populer, karena dipinang oleh Gerindra di Pilkada Jatim, tak menutup kemungkinan, dirinya akan mengolah image politik yang akan menarik banyak pihak. Apalagi sejauh ini, hubungan NU-pemerintah dirasa begitu sinergis, tidak hanya melalui ekspresi dukungan berbagai parpol yang berafiliasi NU, namun kedekatan dunia pesantren, para kiai NU, yang cukup baik dengan pemerintah.
Yenny Wahid jelas berpeluang besar dalam kontestasi politik nasional, baik karena ke-NU-an yang melekat pada dirinya, maupun segala sepak terjang dan track record dirinya yang cenderung "netral" dalam berpolitik. Hal ini bisa menjadi modal politik dirinya untuk meraih simpati masyarakat yang cenderung kesulitan dan gamang belakangan ini, disaat menentukan pilihan politik.Â
Bagi saya, nama Yenny Wahid sangat "menjual" dalam setiap ajang kontestasi, bukan karena gerbong warga nahdliyyin yang berada dibelakangnya, namun juga netralitas, pengalaman pribadinya yang luas dalam soal hubungan-hubungan internasional, termasuk figurnya yang bisa mendamaikan dan diterima banyak pihak.Â
Tanpa harus mengikuti keinginan Prabowo untuk berkompetisi di Pilgub Jatim, Yenny tetap memiliki peluang besar, meraih kesempatan dalam kontestasi politik nasional.
Tidak menutup kemungkinan, bahwa NU-pun sedang menjajaki banyak hal, termasuk bagaimana menempatkan kadernya agar siap terjun dalam kancah politik yang lebih besar. Sebelumnya, nama Muhaimin Iskandar (Cak Imin), juga mulai dipopulerkan kalangan NU agar siap berkompetisi di tingkat nasional.Â
Bahkan, pendeklarasian Cal Imin-AHY sudah jauh-jauh hari diperkenalkan sebagai calon alternatif yang dapat bersaing dengan Jokowi dan Prabowo. Saya kira, modal politik yang dimiliki Yenny, bisa saja mengungguli kepopuleran Cak Imin, yang pada akhirnya, atas kesepakatan dan restu dari para kiai NU, justru mendeklarasikan Yenny Wahid sebagai calon presiden.Â
Dinamika politik NU memang gampang-gampang susah untuk ditebak, karena lagi-lagi ini soal moralitas politik yang tertuang dalam kesepakatan Muktamar NU Yogyakarta. Tunggulah nanti, kemana kecenderungan istikharah para ulama NU, mencalonkan Yenny Wahid atau Cak Imin. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H