Berita soal penolakan Yenny Wahid yang akan diusung menjadi cagub oleh Gerindra di Pilkada Jatim, tidak bisa dilihat sebatas kekhawatirannya akan terjadi polemik internal di tubuh organisasi Nahdlatul Ulama (NU).Â
Sebagaimana diketahui, dua cagub di Pilkada Jatim yang saat ini berkontestasi adalah kader NU yang sudah cukup makan asam garam dalam dunia politik nasional. Dalam sebuah iklim kontestasi, perbedaan-perbedaan aspirasi politik walaupun terafiliasi dalam sebuah organisasi sosial yang sama, merupakan hal yang wajar.Â
Apalagi hal ini jelas disebutkan dalam Pedoman Politik Warga NU yang dituangkan selepas keputusan Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada 1989 silam. Salah satu poinnya adalah tetap menerima perbedaan aspiran politik yang tetap berjalan dalam suasana tawadhu, persaudaraan, dan saling menghargai.
Bagi saya, penolakan Yenny Wahid atas pinangan Prabowo sebagai cagub, lebih didasarkan pada unsur moralitas politik, di mana NU tidak boleh dimanfaatkan sebagai "kendaraan" untuk mencari kekuasaan politik.Â
Melihat sudah adanya dua kandidat yang sama-sama berlatarbelakang NU, pencalonan Yenny hanya akan dianggap sebagai kesempatan yang pada akhirnya sekadar "memanfaatkan" suara warga nahdliyyin demi kepentingan kekuasaan sesaat. Inilah saya kira, hasil dari komunikasi Yenny Wahid dengan keluarga dan para ulama senior NU.Â
Sejauh ini, NU masih tetap memegang pedoman berpolitik yang secara jelas terangkum dari hasil Muktamar ke-28 Yogyakarta.
Ormas Islam terbesar ini memang unik, disamping memiliki kesejarahan yang kuat dalam memperjuangkan dan mengisi kemerdekaan, terdapat pasang-surut kepolitikan yang hampir tak pernah selesai diwacanakan. Keputusan soal "Khittah" yang mengembalikan ormas ini ke jalur sosial-keagamaan dan meninggalkan politik praktis---sebagai parpol---ternyata tidak serta merta mematikan kreativitas politik warganya.Â
Secara "struktural" NU memang tak berpolitik praktis, walaupun secara "kultural", NU sulit melepaskan diri dari kecenderungan-kecenderungan kekuasaan. Keberadaan PKB, yang mulanya ditentang oleh sebagian ulama senior NU, toh tetap mewujud dan sukses menjadi parpol pendulang suara bagi mayoritas warga nahdliyyin.
Sudah menjadi suatu tradisi, di mana setiap kontestan yang berlatar belakang NU, pasti akan meminta restu dan dukungan para kiai, semata-mata bukan karena meminta dukungan secara politik dengan cara mengamankan suara pemilih, tetapi lebih kepada tradisi penghormatan dalam rangka menjalankan dan memperteguh moralitas politik ke-NU-annya.Â
Maka tak heran, jika seakan-akan, bahwa antara dua kandidat di Pilgub Jatim---baik Syaifullah maupun Khofifah---saling berebut pengaruh kepada para kiai kharismatis dan muncul juga pernyataan-pernyataan dukungan dari mereka. Padahal, disitulah letak keunikan NU, membangun tradisi dan kultur santri-kiai yang terbawa-bawa hingga urusan-urusan politik.
Hal inilah yang sama dialami putri sulung KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Zannuba Ariffah Chafsoh atau yang biasa akrab disapa Yenny Wahid. Santernya isu pinangan politik yang dilakukan Prabowo Subianto terhadapnya, yang kemudian berujung penolakan, semata-mata karena nilai moralitas politik yang tetap dipegang teguh oleh keluarga besar NU.