Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pilkada Jabar dan Karma Politik Para Kandidatnya

29 Desember 2017   14:39 Diperbarui: 30 Desember 2017   12:01 4080
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menarik sesungguhnya mengikuti dinamika kepolitikan dalam pilkada Jabar 2018, terutama soal karma politik yang dialami oleh sebagian para kontestannya. Sebut saja salah seorang kontestan yang kerap dijagokan menjadi "yang terkuat" sebagaimana dirujuk oleh banyak lembaga survei, yaitu Ridwan Kamil (RK).

RK semakin lama malah semakin redup pamor politiknya, bahkan ditinggalkan parpol pengusungnya sendiri. Golkar, yang bersama-sama dengan Nasdem, PKB, dan PPP kini malah menarik dukungannya dari walikota Bandung ini dan sudah mempersiapkan calon kontestan dari internal kadernya sendiri. Begitupun Deddy Mizwar, yang semula didukung PKS, kini malah harus rela menelan pil pahit, kehilangan dukungan dari partai bulan sabit kembar ini. Apakah ini yang dimaksud oleh adanya karma politik?

Sebuah "karma" tentu saja merupakan keadaan sebab-akibat atau timbal balik yang dialami manusia ketika hidup di dunia, entah itu karena politik, hubungan-hubungan sosial, atau kegiatan perekonomian, yang keseluruhannya terdapat hukum kausalitas seiring dengan perjalanan hidup seseorang. Ketika dikaitkan dengan frasa "politik", maka karma bisa saja disebabkan oleh keberadaan seseorang yang terlampau yakin akan popularitas dirinya, padahal, popularitas tidak selalu linier dengan elektabilitas dalam sebuah kontestasi politik.

Popularitas RK akibat ulah lembaga survei yang terlalu dini mempromosikannya, belakangan justru berbalik, beberapa parpol mencabut dukungan, tentu bukan karena popularitas RK menurun sebagaimana rilis lembaga survei, namun lebih banyak diwarnai oleh suatu karma politik yang mendera dirinya. Parpol pendukung RK yang sebelumnya tampak yakin mendukung dirinya, kini satu-persatu mulai goyah, terutama setelah Golkar mengalihkan dukungannya terhadap Dedi Mulyadi.

RK yang dulu digadang-gadang oleh banyak parpol karena kesuksesannya menjadi walikota Bandung, tak luput menjadi ajang sesumbar para elit parpol pendukungnya. Kita tentu masih ingat, ketika para elit Golkar menyatakan dukungannya terhadap RK yang dipasangkan dengan Daniel Muttaqien secara meyakinkan, akan sukses mendulang suara di wilayah Pantura, kini kandas sudah. Pasca lengsernya Setya Novanto dari ketua umum Golkar, kini partai beringin itu mengalihkan dukungannya kepada Dedi Mulyadi yang kemungkinan akan disambut baik oleh PDIP yang memang sudah sejak awal kepincut Bupati Purwakarta ini.

Menariknya, sesumbar para elit Golkar juga sama dilakukan oleh elit partai berlambang Ka'bah yang secara resmi menyatakan dukungannya kepada RK tetapi dengan memasangkan Uu Ruzhanul Ulum, sebagai bakal cawagub dari internal partainya. 

Dukungan resmi masing-masing elit parpol ini seakan memberikan nuansa "klaim" atas kemenangannya sendiri-sendiri, bukan berdasar pertimbangan "koalisi sehati" yang justru lebih dapat memantapkan beragam unsur koalisi politik didalamnya dalam menangguk "kemenangan bersama". Itulah kenapa, karma politik ini nampaknya menimpa RK, akibat sesumbar para elit parpol pendukungnya, termasuk keyakinan dirinya terhadap  popularitasnya yang moncer selama menjadi walikota Bandung.

Karma, tentu saja tidak melulu berkonotasi negatif, karena karma politik secara positif justru sedang menimpa Dedi Mulyadi. Dedi yang oleh Golkar dulu "dibuang" kini semakin "disayang". Setelah nahkoda Golkar diambil alih oleh Airlangga Hartarto, dukungan parpol beringin ini tak lagi diberikan kepada RK, tetapi dialihkan untuk membesarkan kadernya sendiri. 

Suara elit pusat partai berlambang beringin ini, tentu saja mengikuti suara elit daerahnya, yang menginginkan Ketua DPD Golkar Jabar, Dedi Mulyadi, maju sebagai cagub di Pilkada Jabar mendatang. Penarikan dukungan Golkar atas RK yang dialihkan kepada Dedi, juga bisa saja imbas dari akibat "karma politik".

Kontestan lain di Pilgub Jabar 2018, Deddy Mizwar juga terdampak karma politik, dimana dirinya ditinggalkan parpol pengusungnya, PAN dan PKS. Kedua parpol ini nampaknya terdampak "karma politik" di Pikada Jakarta tahun lalu yang sukses menuai kemenangan atas pasangan Anies-Sandiaga yang mengalahkan petahana, sehingga chemistry politiknya tentu saja bersama Gerindra dan sulit membuka koalisi dengan parpol lainnya. Ketiga parpol---Gerindra, PKS, dan PAN---sepakat membentuk "koalisi reuni" di Pilgub Jabar, mengusung Sudrajat bersama Ahmad Syaikhu seraya  "mencampakkan" Deddy Mizwar yang entah bagaimana nasibnya di Pilkada Jabar nanti, karena dirinya hanya mendapat dukungan resmi dari Partai Demokrat.

Deddy Mizwar dan Dedi Mulyadi, nampaknya juga mempunyai riwayat kepolitikan di Pilkada Jabar yang kurang mengenakkan, karena keduanya sama-sama "ditinggalkan" dan "dicampakkan" parpol pengusungnya, bahkan nama yang disebut terakhir justru seperti di "zalimi" oleh parpol yang justru telah membesarkan dirinya di Jawa Barat. Agak aneh, ketika Golkar justru memilih RK seakan menunjukkan arogansi politiknya dengan tak sedikitpun mempertimbangkan kader internalnya sendiri. Namun, Dedi Mulyadi saat ini bisa sedikit lega, karena karma politik itu justru berlaku, dimana Golkar malah berbalik mendukung dirinya setelah sebelumnya ia dizalimi partainya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun