Jika melihat pada kondisi mantan Ketua Umum Golkar, Setya Novanto (Setnov) saat ini, sangat tepat jika diibaratkan seperti "sudah jatuh tertimpa tangga". Setnov tidak hanya dipersekusi ketika dirinya ditengarai terlibat kasus korupsi, tetapi juga distigmatisasi sebagai politisi yang sakti namun "kotor" melihat dari beragam penilaian negatif publik kepada dirinya.Â
Drama penangkapan Setnov oleh KPK hingga "perlawanan" dirinya secara politik menyangkut kedudukannya sebagai ketua DPR sekaligus ketua umum Golkar kini alurnya sudah mudah ditebak, kemana akhir cerita sesungguhnya. Setnov sudah "jatuh" akibat kasus korupsi E-KTP yang menjeratnya, bahkan dua pengacara yang sebelumnya mati-matian akan membelanya, malah mengundurkan diri. Fredrich Yunadi dan Otto Hasibuan, yang diharapkan dapat bekerjasama memenangkan kasus Setnov, ternyata mundur sebelum perang dimulai.
Kesaktian Setnov di Golkar pun tampaknya tak berarti, karena keinginannya agar masih dipercaya menjadi ketua umum melalui penunjukkan pelaksana tugas kepada sekjennya, Idrus Marham juga kandas. Para elite Golkar sudah menjauhi bahkan membuang Setnov, walaupun tidak secara terang-terangan "memecat" dirinya dari keanggotaan Golkar melalui mekanisme munaslub. Kegerahan para elite Golkar atas prilaku dirinya yang "bossy" padahal sudah lagi tak bertaji, mulai menaruh harapan besar pada sosok ketua umum penggantinya, Airlangga Hartarto. Politisi senior Golkar ini sudah sejak lama digadang-gadang akan menggantikan Setnov, ketika gonjang-ganjing masalah korupsi mendera ketua umumnya sendiri.
Terlihat beban berat yang dipikul Setnov, karena dalam beberapa kali persidangan, dirinya terlihat lesu, kurang konsentrasi, bahkan memperlihatkan mimik muka yang tidak mengenakkan. Alih-alih dirinya akan membongkar keterlibatan pihak lain yang terungkap di persidangan, jaksa KPK malah akan memperberat hukuman, karena Setnov dinilai "berbohong" dan tidak kooperatif kepada hakim. Walaupun kondisi dirinya tampak mulai berubah dan dapat lebih menyesuaikan diri dengan kenyataan, namun yang pasti, seluruh karir politiknya sudah hancur berkeping-keping.Â
Setnov tidak hanya dicampakkan dari parpol yang membesarkan dirinya, namun kini ia harus sendirian berjuang melawan konsekuensi hukum yang saat ini menjeratnya. Mungkin, hanya keluarga dan pengacaranya, Maqdir Ismail, yang kelihatan mampu membesarkan hati Setnov, agar mengikuti persidangan dan membongkar keterlibatan pihak lain yang sama-sama menikmati hasil uang korupsi yang sejauh ini dituduhkan kepada dirinya.
Wajar, jika kejahatan korupsi disebut sebagai extra ordinary crime, karena begitu luar biasanya, kejahatan ini mampu menjungkirbalikkan kondisi seseorang bahkan jatuh tersungkur ke posisi serendah-rendahnya. Seorang politisi seperti Setnov yang dulu dianggap berwibawa, kuat, dihormati dan disegani banyak pihak termasuk lawan-lawan politiknya, kini hanya seorang "pesakitan" yang tak lagi berguna, dianggap "sampah" yang dicampakkan, tak lagi pernah dilirik orang lain, kecuali hanya keluarganya sendiri. Kehidupan Setnov hanya dirundung kepasrahan yang benar-benar sudah jatuh, seraya tertimpa tangga pula! Yang tertimpa tangga, bahkan tidak hanya dirinya, tetapi seluruh pihak yang terkait dengan kasus korupsi yang saat ini menjeratnya.
Praktik korupsi belakangan ini---tak hanya yang dituduhkan pada Setnov---adalah kegiatan mengeruk keuntungan pribadi yang dijalankan melalui serangkaian mata rantai collective collegial dalam lingkup kekuasaan. Hampir tak ada korupsi yang bersifat mandiri, kecuali hanya pungli "recehan" yang dilakukan secara ilegal oleh aparat-aparat publik rendahan.Â
Saya kira, temuan PPATK atas nilai rekening mencapai 747 triliun yang dikelola oleh 19 orang dalam akun yang berbeda, jelas menunjukkan maraknya korupsi yang dikelola secara kolektif-kolegial ini diantara sekian banyak para pemegang pemangku kepentingan. Setnov bisa saja kemudian dijadikan "korban" sekaligus pintu masuk dalam menguak triliunan dana hasil korupsi yang saat ini "ngendon" dalam kurang lebih 228 rekening bank dan lembaga keuangan.
Tak ada lagi istilah menguji kesaktian Setnov, karena yang ada saat ini dirinya terpuruk, jatuh tersungkur, berada dibawah titik nadir, atau dalam bahasa agama disebut sebagai "asfala safiliin" (menempati tempat serendah-rendahnya), setelah dirinya menjadi "orang kuat" dan disegani banyak pihak. Adakah rasa iba publik kepada Setnov?Â
Saya kira tidak, karena hampir semua orang membicarakannya secara negatif, mencibirnya, menganggapnya pesakitan yang banyak merugikan orang, hanya keluarganyalah satu-satunya pihak yang sejauh ini dapat mengembalikan sedikit demi sedikit semangat hidupnya dalam menanggung beban yang sedemikian berat. Jika dulu pernah terdengar sebuah adagium "politisi tak pernah mati" tampaknya tak berlaku lagi, setelah seorang politisi ikut terlibat dan membesarkan praktik korupsi, karena dirinya pasti "mati".
Sulit rasanya "menghidupkan" kembali politisi yang pernah terjerat kasus korupsi, karena stigmatisasi masyarakat sedemikian kuat, bahwa koruptor adalah "penjahat". Lalu, apakah kasus Setnov yang benar-benar mempertontonkan kondisi "sudah jatuh tertimpa tangga" akan membuat jera para koruptor? Lagi-lagi belum tentu, karena korupsi bukan sekadar praktik memperkaya diri sendiri maupun orang lain, tetapi mengikat menjadi "sistem" dalam praktek kepemimpinan kolektif-kolegial yang telah menjadi sebuah fakta sosial. Itulah kenapa, Tranparency International dengan mudah mendefinisikan korupsi sebagai, "the abuse of entrusted power for private gain" bahwa publik ikut menyumbang dalam hal penyalahgunaan wewenang melalui praktik korupsi untuk kepentingan pribadi dan kelompok-kelompok lain.
Sebagai sebuah fakta sosial, praktik korupsi tentu saja terkait erat dengan banyak faktor, termasuk ekonomi, politik, bahkan budaya. Bahkan yang paling menyedihkan, sebuah penelitian yang dirilis LSI yang menyoal korupsi, religiusitas, dan intoleransi pada Agustus 2017, agama-pun ketika dipersepsikan terhadap ketaatan pada hierarki sosial, status sosial, dan toleran terhadap pelanggaran hukum, akan berkolerasi positif terhadap tingkat kesuburan praktik korupsi. Padahal, agama semestinya mampu mengontrol prilaku korup para penganutnya, bukan malah kehilangan jati diri religiusitasnya akibat kenyataan fakta sosial korup yang melingkupinya. Indonesia dikenal sebagai bangsa yang taat beragama, tetapi fakta sosial korupsi tetap merajalela.
Jadi, kepada Bapak Setya Novanto yang terhormat, jadilah justice collaborator yang pada akhirnya mampu menguak, siapa saja yang telah menikmati hasil korupsi E-KTP, tidak berhenti pada Bapak sendiri yang malah semakin direndahkan banyak pihak. Jika ada politisi yang kemudian "hilang" dari bukti dakwaan, ungkapkan saja dan kembalikan mereka sebagai pihak-pihak yang juga menikmati uang haram hasil korupsi tersebut.Â
Kalaupun sudah jatuh, biarkanlah tangga yang menimpa tidak hanya kepada Bapak sendiri, tetapi juga menimpa orang lain, yang tentunya bersalah menjatuhkan Bapak dari titian tangga kekuasaan yang waktu itu sedang asyik-asyiknya dinikmati. Hanya sabar, kata yang paling "sakti" yang mampu mengembalikan kondisi Bapak ke suasana yang paling baik. Mengembalikan "kesaktian" Bapak tidak gampang, butuh waktu dan kesabaran, sampai pada akhirnya semua tersingkap, kebathilan pasti akan dikalahkan oleh kebenaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H