Sebagai sebuah fakta sosial, praktik korupsi tentu saja terkait erat dengan banyak faktor, termasuk ekonomi, politik, bahkan budaya. Bahkan yang paling menyedihkan, sebuah penelitian yang dirilis LSI yang menyoal korupsi, religiusitas, dan intoleransi pada Agustus 2017, agama-pun ketika dipersepsikan terhadap ketaatan pada hierarki sosial, status sosial, dan toleran terhadap pelanggaran hukum, akan berkolerasi positif terhadap tingkat kesuburan praktik korupsi. Padahal, agama semestinya mampu mengontrol prilaku korup para penganutnya, bukan malah kehilangan jati diri religiusitasnya akibat kenyataan fakta sosial korup yang melingkupinya. Indonesia dikenal sebagai bangsa yang taat beragama, tetapi fakta sosial korupsi tetap merajalela.
Jadi, kepada Bapak Setya Novanto yang terhormat, jadilah justice collaborator yang pada akhirnya mampu menguak, siapa saja yang telah menikmati hasil korupsi E-KTP, tidak berhenti pada Bapak sendiri yang malah semakin direndahkan banyak pihak. Jika ada politisi yang kemudian "hilang" dari bukti dakwaan, ungkapkan saja dan kembalikan mereka sebagai pihak-pihak yang juga menikmati uang haram hasil korupsi tersebut.Â
Kalaupun sudah jatuh, biarkanlah tangga yang menimpa tidak hanya kepada Bapak sendiri, tetapi juga menimpa orang lain, yang tentunya bersalah menjatuhkan Bapak dari titian tangga kekuasaan yang waktu itu sedang asyik-asyiknya dinikmati. Hanya sabar, kata yang paling "sakti" yang mampu mengembalikan kondisi Bapak ke suasana yang paling baik. Mengembalikan "kesaktian" Bapak tidak gampang, butuh waktu dan kesabaran, sampai pada akhirnya semua tersingkap, kebathilan pasti akan dikalahkan oleh kebenaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H