Hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah Indonesia yang sudah sejak lama mendukung penuh Palestina merdeka. Walaupun demikian, tak seluruhnya elemen bangsa ini sepakat melakukan aksi turun ke jalanan, karena ada juga beberapa organisasi yang lebih melihat jalur diplomasi sebagai alternatif paling baik.Â
Ormas Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Katolik Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dan ICMI, justru lebih memilih jalur diplomasi, ketimbang aksi demonstrasi.
NU tampaknya sedikit alergi dengan istilah "aksi", terlebih yang tampak turun ke jalan besok diinisiasi oleh kalangan muslim militan konservatif. Bisa jadi NU sepertinya ingin konsisten, menghindari keterlibatan melalui "aksi keagamaan", sebagaimana yang sejauh ini juga dijalankan oleh ormas yang menggagas Islam Nusantara ini.Â
Secara "struktural", NU sepertinya tak pernah sejalan dengan berbagai ormas Islam yang cenderung menyuarakan aspirasinya dengan cara aksi atau demonstrasi, walaupun secara "kultural" simpatisan NU tidak dilarang berdemonstrasi.Â
Barangkali tak jauh berbeda dengan KWI, yang khawatir, aksi-aksi seperti ini malah lebih bernuansa "keagamaan" bukan solidaritas kemanusiaan, sehingga lebih memilih jalur diplomasi.
Yang agak mengherankan justru ICMI, yang belum lama ini ungkapan ketua umumnya soal  dukungannya kepada Jokowi untuk melanjutkan kepemimpinannya dua periode, dinilai melanggar kode etik. Sepertinya, Jimly Asshiddiqie sedang "mencari panggung" dengan kembali membuat pernyataan menggelitik, agar intelektual tidak perlu ikut aksi Bela Palestina, besok.Â
Padahal, ICMI hampir tak pernah terdengar sebagai organisasi penyokong unjuk rasa, karena memang ICMI adalah organisasi para intelektual. Saya tidak tahu, apakah ada kalangan intelektual dalam organisasi ini yang juga aktif di berbagai ormas Islam lainnya yang senantiasa meluapkan aspirasinya melalui berbagai jalur demonstrasi.Â
Namun dapat dimengerti, bahwa kalangan intelektual memang semestinya menggunakan jalur-jalur diplomasi untuk "memaksa" AS menarik keputusannya agar Yerussalem tetap menjadi bagian dari Palestina, bukan "dicaplok" secara sepihak oleh Israel.
Memang sepertinya, melihat secara lebih jernih persoalan menyangkut Israel dan Palestina akan lebih dapat mendudukan masalah ini fair dan jelas. Sejauh ini, semangat keagamaan nampaknya lebih mendominasi, dimana seakan-akan bahwa konflik berkepanjangan Israel-Palestina dipicu oleh perbedaan agama.Â
Padahal, nuansa politik sangat kental terlihat, apalagi Amerika sebagai "sekutu abadi" Israel memperoleh banyak keuntungan politik, karena Israel merupakan wilayah strategis untuk memantapkan kekuatan Barat di Timur Tengah.Â
Ditengah nuansa politis seperti ini, wajar jika kemudian munculnya aksi solidaritas atas Palestina, tidak melulu dilakukan melalui cara aksi tetapi diplomasi. Esensinya saya kira sama, mereka tetap bersimpati kepada Palestina seraya mengutuk berbagai tindakan Israel melalui dukungan Amerika yang terus melakukan penjajahan atas Palestina.