Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menilik Sikap Keberagamaan Zaman "Kiwari"

6 Desember 2017   13:45 Diperbarui: 7 Desember 2017   10:20 3123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sikap keberagamaan yang baik, bagi saya, justru jauh dari sikap-sikap intoleran, berpaham sempit atau bahkan terlampau fanatik dalam mengapresiasi keyakinannya sendiri. Inilah kemudian kenapa  Nabi Muhammad telah mengingatkan agar sikap keberagamaan yang benar adalah memiliki kecenderungan kepada kebenaran (hanifiyyah) dan toleransi (samhah). "Sikap keberagamaan yang paling disukai Allah adalah cenderung kepada kebenaran (al-hanifiyyah) dan toleransi (as-samhah)", demikian sebuah hadis yang direkam secara apik dalam KitabShahih Al-Bukhori. 

Idealitas keberagamaan tentu saja tidak hanya ditopang oleh serapan informasi sepihak, tetapi melalui berbagai proses logis yang terbuka. Kemudahan akses terhadap internet dan media sosial, tentu saja harus diiringi oleh sikap tabayun, mendialogkan berbagai kemungkinan, dan terus mencari kebenaran informasi, tidak berhenti pada proses transmisi media sosial atau internet.

Realitas kekinian yang ditunjukkan oleh hasil penelitian PPIM soal sikap keberagamaan generasi kiwari dengan kecenderungan intoleran dan radikal yang cukup tinggi, sepertinya memang hasil dari dampak buruk internet dan media sosial. Walaupun penelitian ini menyasar kelompok usia muda yang menggeluti pendidikan Islam secara formal, namun paling tidak, secara umum generasi kiwari tampak sulit mensinkronisasi antara idealitas keagamaan dan realitas keberagamaan ditengah gempuran informasi sepihak yang membanjiri internet. 

Idealitas keagamaan yang seharusnya dipersepsikan dalam proses menggali kebenaran, berpikir logis dan dialogis, mampu mengedepankan sikap toleran, justru terkesan mandek. Akses mereka yang terus menerus dengan dunia maya, membangun jaringannya sendiri, melahirkan sikap keberagamaan yang cenderung ekslusif dan tertutup, sehingga virus radikal dan intoleran menjangkiti hampir seluruh alam pikiran mereka. Idealitas keberagamaan tentu saja condong kepada kebenaran (proses logis dan dialogis) dan toleran---sebagaimana disebutkan Nabi---bukan malah tertutup terlebih bersikap fanatik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun