Mengenai sikap keberagamaan generasi kiwari---baik ketika merespon soal isu keagamaan maupun politik---sulit untuk tidak dikatakan cenderung berwatak intoleran dan radikal. Generasi kekinian  nampaknya menyerap lebih banyak informasi melalui jejaring media sosial (mesdsos), hampir tak pernah melakukan penelusuran informasi lainnya sebagai medium pembanding.Â
Sikap reaktif disertai emosional, bahkan terkadang destruktif keseringan muncul sebagai respon atas beragam isu yang berkembang. Medsos sepertinya sukses menjadi ajang terbesar persemaian benih-benih radikal dan intoleran, dengan sangat cepat mengubah cara pandang dan sikap keberagamaan yang pada awalnya toleran, justru berbalik, menjadi intoleran bahkan radikal.
Sikap keberagamaan, yang umumnya memandang wajar setiap perbedaan pendapat, pada kenyataannya, tak memberikan ruang soal itu. Tak ada tempat bagi proses dialogis atau perbedaan pendapat, yang ada sepertinya klaim demi klaim atas kebenaran secara subjektif. Proses radikalisasi  yang sukses melalui jejaring medsos, memang terasa sulit dibendung. Penyelesaian masalah melalui "kekerasan" nampaknya menjadi metode efektif yang paling tepat bagi mereka untuk penyelesaian beragam konflik sosial dan politik (Anita Peresin, 2014: 91).
Era milenial---khususnya yang didominasi generasi muda---rentan terjangkit virus radikal dan intoleran akibat perolehan informasi yang membanjiri alam pikiran mereka secara sepihak, tanpa proses-proses berpikir secara logis dan dialogis. Internet dan media sosial (medsos) menjadi sumber informasi paling dominan, menjadi penghubung diantara mereka, menyerap dan bertukar beragam informasi yang tak jarang memiliki muatan-muatan radikal.Â
Sebagai contoh, ketika kita mengetikkan kata kunci di laman google, "NKRI dalam hukum Islam", sontak beragam informasi membanjiri laman tersebut dan sulit untuk tidak mengatakan, bobot informasi berkecenderungan radikal justru serasa lebih mendominasi dibanding informasi berimbang lainnya.
Menarik membaca sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pusat Pengembangan Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, yang menyebutkan, bahwa kemudahan akses internet memicu sebagian generasi milenial memiliki pemahaman keagamaan yang cenderung intoleran dan radikal. Saiful Umam, Direktur Eksekutif PPIM menyebutkan, akses internet sangat berpengaruh terhadap cara pandang keagamaan siswa dan mahasiswa, karena pengguna internet dan medsos sebanyak 85 persen didominasi kalangan generasi produktif ini.
Saiful kemudian memerinci pada acara rilis survei di Jakarta (08/11/2017) mengenai sikap keberagamaan di kalangan generasi kiwari, terutama berpedoman pada tiga faktor yang paling berpengaruh terhadap sikap keberagamaan seseorang, yaitu pengajaran yang diberikan oleh guru dan mentor agamanya, sumber pengetahuan agama dari internet, dan performa pemerintah tiga tahun belakangan ini (sumber: www.ppim.uinjkt.ac.id).
Ketiga faktor ini menjadi indikator paling berpengaruh terhadap cara pandang keberagamaan seseorang yang dihubungkan dengan realitas sosial-politik. Paling tidak, beberapa alat ukur yang dipergunakan dalam penelitian yang dilakukan PPIM, dapat merepresentasikam sejauh mana persepsi seseorang dalam memahami idealitas keberagamaan dirinya dan cara pandang dirinya terhadap realitas sosial yang ada.Â
PPIM mewawancarai lebih dari 2000 responden yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Mereka terdiri dari para dosen, guru, dan siswa/mahasiswa yang berada dalam lingkup wilayah kependidikan agama Islam. Pada level opini saja, para siswa atau mahasiswa cenderung memiliki sikap keberagamaan yang radikal dan intoleran dengan angka mencapai 58,5 persen. Ini belum soal intoleransi internal (sesama muslim) yang mencapai angka 51.1 persen.
Hasil rilis ini menjadi sangat menarik, ketika dihubungkan dengan gejala radikalisme dan intoleran yang belakangan menguat, sesuai dengan hasil rilis Badan Pencegahan dan Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 2016 lalu. BNPT menyebut, bahwa 26 persen kalangan pelajar dan mahasiswa setuju melakukan jihad dengan cara-cara kekerasan (www.rappler.com). Bahkan, setahun kemudian, BNPT merilis data terbarunya yang menyebutkan, 39 persen mahasiswa justru tertarik paham radikal (www.republika.co.id).Â
Saya kira, persepsi terhadap presentase radikalisme dan intoleransi---terutama dikalangan generasi muda---menunjukkan tingkat kekhawatiran, bahkan sebuah warning jika tidak segera diselesaikan melalui cara-cara konstruktif yang berdampak terhadap deradikalisasi. Agama dan sikap keberagamaan yang baik, semestinya dapat mencegah sikap intoleran yang berlebihan, mau menerima setiap perbedaan pendapat, dan idealitas keagamaan sudah semestinya tak mempertentangkan aspek-aspek modernitas maupun perubahan.