Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menimbang "Mubahalah" Buni Yani

15 November 2017   11:23 Diperbarui: 15 November 2017   11:31 1035
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sidang pengadilan atas ujaran kebencian yang didakwakan kepada Buni Yani, cukup menarik perhatian. Pasalnya, Buni Yani sebelum mendengar putusan vonis hakim, melakukan sumpah "mubahalah" (sumpah untuk saling melaknat) karena dirinya menolak jika didakwa sebagai pengedit video pidato Ahok di Kepulauan Seribu, November 2016 lalu. 

Kegigihan dan keyakinan atas dirinya yang tidak bersalah, mendorong Buni Yani untuk "saling melaknat" antara hakim sebagai pemutus perkara dan dirinya yang menjadi terdakwa. Prinsip "mubahalah" yang dilakukan Buni Yani sebenarnya agak aneh, karena "mubahalah" biasanya terjadi karena ada beberapa kelompok yang bertikai, saling menyalahkan, karena masing-masing diantara mereka karena mempertahankan "kebenarannya". Lalu, jika dalam konteks persidangan, dimana seseorang tersangkut masalah hukum, maka "mubahalah" dalam konteks sebuah peradilan, justru tak berpengaruh apapun.

Sejarah soal "mubahalah" diulas secara apik oleh sejarawan Ibnu Ishaq dalam Kitabnya "Sirah Nabawiyyah", menyoal perselisihan Nabi Muhammad dengan utusan Najran yang beragama Nasrani. Orang-orang Najran yang berjumlah 60 orang datang menemui Nabi Muhammad untuk memastikan soal kerasulan Nabi Muhammad yang disebut dalam kitab suci mereka. 

Utusan Najran dipimpin oleh "Al-Aqib" (jabatan seorang pemimpin dalam sebuah kelompok, seorang ahli pertimbangan hukum) yang bernama Abul Masih dan "As-Sayyid" (administrator, yang mengatur perjalanan dan kesepakatan umum), bernama Al-Aiham. Beberapa utusan Najran menolak mengakui kerasulan Muhammad, hingga berselisih soal kedudukan Nabi Isa dalam kelompok mereka sendiri.

Perselisihan antara Nabi Muhammad dan beberapa orang utusan Najran yang saling mengklaim kebenaran masing-masing akhirnya berujung pada peristiwa "mubahalah" dimana Nabi Muhammad diperintahkan Allah untuk "saling melaknat" diantara mereka. Peristiwa ini kemudian diputuskan oleh Al-Aqib dengan mengingatkan kepada kelompoknya agar jangan "bermubahalah" dengan Nabi Muhammad, karena "mubahalah" hanyalah akan memusnahkan, bukan penyelesaian persoalan. Keputusan Al-Aqib mengenai perselisihan ini, agar orang-orang yang berselisih dengan Nabi Muhammad dan tidak mengakui kerasulan Muhammad, dipersilahkan mempertahankan agama dan keyakinannya masing-masing dan diperintahkan berdamai dengan Nabi Muhammad.

Atas perintah dari Al-Aqib, beberapa utusan Najran ini menemui Nabi Muhammad dan menyatakan, "Wahai Abul Qosim (sebutan Rasulullah), kami memutuskan untuk tidak saling melaknat denganmu, membiarkanmu memeluk agamamu, dan kamipun tetap dalam agama kami". Lalu mereka meminta Nabi Muhammad untuk mengutus salah seorang muslim agar dapat ikut dengan rombongan mereka kembali ke Najran, agar dapat dimintai pendapat jika ada persoalan-persoalan terkait perselisihan mengenai agama mereka. Nabi Muhammad kemudian mengutus Abu Ubaidah bin Al-Jarrah agar menyertai rombongan kembali ke negeri mereka.

Peristiwa mubahalah semestinya sudah tamat dan tak perlu lagi dijadikan sebuah alasan "keagamaan" terlebih mempertahankan "kebenaran" yang seolah-olah bahwa dirinya benar-benar yakin dalam kebenaran. Yang paling menggelikan, konteks mubahalah yang dilakukan Buni Yani adalah saat akan dibacakan vonis oleh hakim, padahal hakim merupakan "wakil Tuhan" di muka bumi yang memiliki legitimasi untuk memutus sebuah perkara hukum yang tentu saja berdasarkan undang-undang dan kecondongan hakim kepada kebenaran. 

Bagi saya, hakim adalah "ulil amri" yang ditunjuk oleh pemerintah secara sah untuk memutus perkara-perkara hukum agar terpenuhi rasa keadilan masyarakat. Ulil amri, tentu saja memiliki kedudukan "setingkat" dengan Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana dalam Al-Quran, "Ta'atilah Allah dan Rasul (Nya) dan para ulil amri diantara kamu" (QS. Annisa: 59).

Saya kira, konteks mubahalah yang dilakukan Buni Yani di pengadilan, tidak hanya salah tempat, tetapi juga tak sesuai dengan rujukan sejarah yang ada. Lagi pula, mubahalah semestinya sudah tidak perlu dilakukan lagi, karena hanya akan menimbulkan perselisihan lebih besar dan ini pula yang kemudian dilakukan Nabi Muhammad, tidak lagi bermuhabalah dengan kaum Najran.

 Bukankah lebih baik saling mendoakan dengan cara kebaikan? Bukan dengan cara saling laknat? Jika memang tak puas dengan putusan hakim, saya kira masih ada proses hukum lainnya yang bisa ditempuh, sehingga seseorang bisa benar-benar terpenuhi rasa keadilannya. Saya khawatir, konteks mubahalah kekinian, justru hanya sekadar "menutupi" kesalahan dirinya dan dengan dalih keagamaan, seolah-olah kebenaran mutlak adalah miliknya.

Jika-pun kemudian hari hakim salah dalam mengambil keputusan, itu sudah menjadi "dosa pribadi" sang penegak hukum yang akan dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhannya nanti dan bukan kapasitas kita untuk mempengaruhi keputusan mutlak sang "wakil Tuhan" di muka bumi. Saya kira, keputusan seorang hakim memang mempertimbangkan banyak hal dan tentu saja akan mengikuti "subjektivitas" mereka dalam memutus setiap perkara. Yang lebih penting saat ini, bagaimana sebuah keputusan hukum itu selaras dengan aturan perundang-undangan berlaku dan harus memenuhi rasa keadilan masyarakat. 

Lagi pula, setiap keputusan hukum pasti mempertimbangkan segala hal yang tampak, sebagai alat bukti yang dipergunakan untuk memutus sebuah perkara hukum. "Fahkum bidz-dzwahir wala tahkum bissarair" (hukum akan berlaku pada sesuatu yang tampak, dan tidak berlaku untuk hal-hal yang tersembunyi), mungkin ini yang kemudian seringkali menjadi landasan utama seorang hakim dalam memutus setiap perkara.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun