Perubahan nilai-nilai dari luar yang dibawa oleh santri kota semestinya tidak serta merta memberangus identitas "kesantrian" yang telah lama hidup dalam lingkup pesantren, apalagi yang terlihat justru "mendikte" pesantren dan para pimpinannya untuk terlibat secara aktif dalam hal dukungan politik. Memang tak ada larangan bagi siapapun atau kelompok manapun dalam hal partisipasi politik, hanya saja sangat disayangkan jika pada akhirnya pesantren dan para kiai hanya dijadikan "alat politik" hanya sekadar tujuan kekuasaan sesaat.
Jika dulu pesantren dijadikan tempat berkumpulnya para kiai untuk menentukan arah perjuangan kemerdekaan bangsa dan perbaikan kualitas keumatan, maka tidak salah jika belakangan pesantren justru kehilangan "muru'ah" (penjaga nilai-nilai moralitas-kejujuran) kesantriannya dan jatuh dalam kubangan duniawiyah demi kepentingan politik sesaat. Jatim yang disebut merupakan wilayah pesantren, justru dimanfaatkan sebagai momentum kontestasi politik yang pada akhirnya, membuat dua kandidatnya yang santri, "membelah" pesantren menjadi basis dukungan politik yang saling berhadapan.Â
Disinilah "godaan politik" yang semakin mengaburkan nilai-nilai identitas kesantrian yang tercerabut dari akar tradisionalismenya. Sebuah gambaran yang sangat kontras, ditengah euforia jelang Hari Santri Nasional yang merefleksikan penguatan nilai-nilai tradisi kesantrian, tetapi pesantren dan para pemimpinnya justru asyik "berburu" dukungan demi tujuan kekuasaan politik. Â Â Â Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H