Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

NU dan Soal Pelarangan Ceramah Ustadz Bahtiar Nasir

15 Oktober 2017   15:39 Diperbarui: 15 Oktober 2017   22:18 12892
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepertinya, NU sedang mengultimatum agar setiap pengajian atau ceramah agama yang tidak sejalan dengan "ideologi" mereka, maka secara tegas harus ditolak. Padahal, tokoh NU almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sepanjang hidupnya adalah sosok paling moderat dan mudah menerima semua kalangan dan golongan, tidak hanya terhadap golongan Islam yang begitu beragam, terhadap kalangan non-muslim sekalipun Gus Dur tetap bersikap akomodatif.

Friksi dalam tubuh umat muslim Indonesia sudah sangat akut, terpolarisasi ke dalam segmentasi keumatan yang satu sama lain justru saling bertentangan. Anehnya, ormas NU yang digadang-gadang sebagai perwujudan moderatisme Islam di Indonesia, justru mengalami distorsi luar biasa, merasa takut terhadap kekuatan fundamentalisme (jika memang ada) bukannya membuat pencerahan kepada masyarakat dengan cara-cara damai dan bermartabat. 

Tetapi, sekali lagi, moderatisme Islam hanya mewujud dalam "NU kultural" karena dalam banyak hal, "NU struktural" justru seringkali memperlihatkan kekakuannya dalam menghadapi realitas sosial-keagamaan.

Saya masih teringat, betapa perwujudan kultur NU yang sangat akomodatif berpegang pada nomenklatur ushul fiqh, "al-muhafadzatu ala qodimi as-shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah" (Menjaga suatu tradisi yang dianggap baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Jika kemudian pengajian atau ceramah keagamaan dianggap sebagai tradisi yang baik, maka tak perlu melihat kepada sosok siapa yang menjalankannya, bahkan jika ini merupakan "tradisi baru" yang lebih baik, semestinya harus diambil sebagai bagian dari kekayaan budaya Nusantara. 

NU di Kota Cirebon justru telah kehilangan ruh ke-NU-annya yang senantiasa berpegang secara kuat pada kaidah-kaidah ushuliyyah yang memang moderat. NU seharusnya menjadi ormas penjaga tradisi yang tak mudah "mempertentangkan" tetapi harus lebih akomodatif terhadap hal-hal baru. Jika NU saja sudah luntur sikap moderatismenya, lalu kepada siapa warga nahdliyyin seperti saya berharap?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun