Sosok Dedi Mulyadi yang saat ini menjabat Bupati Purwakarta, tiba-tiba semakin melejit dan moncer ditengah hiruk-pikuk kontestasi politik di Jawa Barat (Jabar). Meskipun namanya tak sepopuler Ridwan Kamil atau Dedi Mizwar berdasarkan hasil survei, namun kans Dedi dalam Pilkada Jabar 2018 patut diperhitungkan. Terobosannya dalam bidang pendidikan dengan program kajian kitab kuning bagi seluruh sekolah di Kabupaten Purwakarta, tidak saja diapresiasi oleh pegiat pesantren di wilayah Jabar, tetapi juga dukungan dari warga nahdliyyin Jabar yang sangat merasakan manfaat dari program yang dikelola pemerintah daerah Purwakarta ini. Kitab kuning, saya kira bukan sekadar "produk budaya" pesantren, tetapi juga tradisi Islam Nusantara yang sejauh ini justru semakin tak dihargai masyarakat.
Menarik kenapa Dedi Mulyadi berani menjalankan kebijakan soal program kajian kitab kuning bagi sekolah-sekolah di Purwakarta, padahal kitab kuning hanya dikenal di pesantren-pesantren tradisional tak pernah menyentuh secara formal di sekolah manapun. Rupanya upaya Dedi ini merupakan counter atas maraknya fundamentalisme dan radikalisme yang sejauh ini tumbuh pesat di Indonesia.Â
Kitab kuning tentu saja, tidak melulu bernuansa fiqh (yurisprudensi Islam) tetapi juga sarat makna moral, relasi-relasi sosial yang bernilai kasih sayang serta mengusung ideologi kedamaian. Bagi siswa muslim, program kajian kitab kuning dan pendalaman Al-Quran justru diwajibkan, dan bagi siswa non-muslim diwajibkan untuk mempelajari kitab keagamaan yang mereka yakini secara lebih intensif.
Sejauh yang saya ketahui, Dedi memang dianggap sebagai ikon "muslim tradisionalis" yang sangat akomodatif terhadap berbagai kearifan lokal, itu sebabnya dirinya tak disukai oleh kalangan fundamentalisme yang justru "melawan" dan mempertentangkan kearifan lokal. Mungkin kita belum lupa, ketika Dedi Mulyadi berseteru dengan pimpinan FPI, Riziq Syihab, gara-gara soal ucapan "sampurasun" diplesetkan menjadi "campuracun". Belum lagi kalangan fundamentalis yang terus menolak berbagai kebijakan Dedi yang justru terkait dengan pelestarian budaya, bahkan pernah melontarkan kritik bahwa Purwakarta saat ini berubah menjadi "kota patung" padahal dulunya adalah "kota tasbih". Lucu memang, padahal "tasbih" juga merupakan budaya yang diserap dalam tradisi Islam yang sudah terlebih dahulu dimiliki oleh agama lain.
Saya kira, Dedi merupakan representasi warga nahdliyyin yang cenderung berpaham moderat dan inilah yang ditegaskan oleh sayap politik PKB, Garda Bangsa, yang mendukung sepenuhnya upaya Dedi karena keberhasilannya memberdayakan para lulusan pesantren untuk terjun lebih intensif dalam dunia pendidikan formal. Ya, program kitab kuning yang diwajibkan kepada setiap siswa muslim, mampu menyerap lebih dari 526 lulusan pesantren menjadi tenaga pendidik di seluruh wilayah Kabupaten Purwakarta.Â
Bahkan Rais Aam Nahdlatul Ulama yang juga Ketua Umum MUI, KH Ma'ruf Amin pernah menyebut upaya Dedi sebagai terobosan membentuk "intelektual yang nyantri". Jika santri yang intelektual itu banyak, tetapi sangat jarang intelektual yang santri, disinilah pentingnya terobosan bidang pendidikan yang diinisiasi cagub Jabar, Dedi Mulyadi.
Walaupun Dedi merupakan representasi warga nahdliyyin, namun dalam soal dukungan politik, parpol berbasis massa NU, PKB malah enggan mengusung Dedi. Alasannya, Ridwan Kamil lebih menarik dan seksi, karena sudah teruji menjadi pemimpin "bersih" di Jabar, disamping itu lembaga-lembaga survei tampak lebih condong mempopulerkannya. PKB dan Nasdem nampaknya sudah resmi mengusung Kang Emil---sebutan akrab Ridwan Kamil---untuk maju menjadi kontestan di Pilgub Jabar 2018 mendatang. Bagi saya, PKB tidak sepenuhnya merupakan "representasi politik" warga NU, karena terkadang dukungan dan kebijakan politik parpol memiliki duan nuansa yang berlainan.
Tetapi nampaknya Dedi tak pernah khawatir kehilangan dukungannya, terbukti kasus "surat bodong" ternyata tak berpengaruh bagi DPD Golkar Jabar untuk satu suara mendukung pencalonan Dedi di Pilgub Jabar nanti. Belum lagi soal deklarasi "Koalisi Pancasila" yang dinilai sebagai representasi politik terkuat dalam Pilgub Jabar, karena didalamnya tergabung PDI-P, Golkar dan Hanura yang kemungkinan besar memuluskan langkah Dedi di kontestasi politik Jabar. Kang Emil yang digadang-gadang menjadi calon terkuat di Pilgub Jabar, nampaknya juga tetap harus bergantung pada kekuatan koalisi parpol yang sejauh ini belum sepenuhnya bersuara bulat guna mendukungnya. Kekuatan dukungan dari PKB dan Nasdem nampaknya belum cukup untuk Kang Emil mengantongi tiket menuju kontestasi politik.
Melihat peta politik di Pilgub Jabar nampaknya cukup menarik, karena faktanya masih banyak parpol yang gamang untuk menentukan, ke arah mana dukungan politiknya berlabuh. Walaupun sejauh ini sudah dipastikan terdapat tiga calon (Deddy Mizwar, Ridwan Kamil dan Dedei Mulyadi) yang akan menjadi kontestan di Pilgub Jabar, namun bisa saja formasi itu berubah. Belum lagi bermunculan nama-nama kontestan politik "penggembira" yang posternya sudah terpampang di jalan-jalan utama Kota Bandung, Jabar.Â
Kontestasi politik memang selalu saja menarik, tidak hanya bagi warga lokal, namun bagi mereka yang juga memiliki "ikatan emosional" terhadap beberapa kontestan yang ada. Jabar, paling tidak, menjadi menarik karena wilayahnya yang sangat berdekatan dengan simpul-simpul kekuasaan pusat, sehingga wajar jika banyak kepentingan yang ikut bermain di dalamnya.
Bagi saya, Dedi Mulyadi nampaknya merupakan sosok kontestan yang cukup memiliki kualitas dan kapasitas untuk berpeluang besar memenangkan Pilgub Jabar 2018. Selain merupakan pribadi yang akomodatif dan moderat sehingga mudah diterima berbagai lapisan masyarakat, Dedi disebut sebagai pemimpin yang bersih dan track record kepolitikan yang selama ini dinilai positif.
Koalisi raksasa yang dibangun PDI-P, Golkar dan Hanura cukup untuk memberikan harapan besar mengantarkan Dedi menjadi calon terkuat yang bisa saja mengalahkan kepopuleran Kang Emil. Kekuatan partai politik memang penting, walaupun yang paling menentukan tetap saja pilihan masyarakat yang dikumpulkan di bilik-bilik suara pada saat pemungutan suara berlangsung. Namun yang pasti, Jabar masih seksi menjadi wilayah perebutan kekuasaan politik para elit nasional sebagai sarana menggalang kekuatan politik terkait kontestasi nasional 2019 mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H