Meskipun pada kenyataannya sinyal dukungan warga NU nampak terbelah, namun tidak berarti bahwa warga NU tidak rasional dalam berpolitik. Rasionalitas politiknya justru terletak pada bagaimana penerimaan warga NU terhadap program-program kerja nyata para kandidat, bukan sekadar penerimaan atas trah NU yang melekat pada setiap kandidat yang terpilih.Â
Memang, kemenangan Soekarwo pada Pilgub sebelumnya, semata-mata diuntungkan karena dipasangkan dengan Gus Ipul yang memiliki akar kuat pada basis massa NU. Namun, kekalahan Khafifah waktu itu, justru karena dirinya terlampau percaya terhadap "kekuatan politik" pesantren yang dapat mendongkrak suaranya seraya mengabaikan sisi program kerja yang ditawarkan.
Lagi-lagi, ini adalah soal adu kekuatan program kerja yang sejauh ini telah diperkuat oleh masing-masing kandidat, baik Gus Ipul maupun Khafifah. Saya kira, dua periode menjadi wakil gubernur Jatim, cukup sebagai modal politik Gus Ipul untuk melenggang mendapatkan tiket gubernur Jatim periode mendatang. Khafifah yang kebetulan menjabat sebagai menteri sosial, pasti sudah terlebih dahulu mempersiapkan dengan menggalang kekuatan politik di kantung-kantung NU Jatim.Â
Namun sayang, semestinya keduanya bisa bersatu menjadi paket pasangan cagub-cawagub Jatim 2018 yang tentu saja lebih mudah mengantisipasi suara-suara pemilih warga NU nantinya. Pada akhirnya, kita hanya dapat mencermati dan menunggu, kemana arah sinyal politik warga NU menguatnya, kearah  Gus Ipul atau Khafifah? Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI