Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perbedaan Ulama Nusantara, Dulu dan Zaman Now

10 Oktober 2017   12:17 Diperbarui: 10 Oktober 2017   12:34 4081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ustadz itupun menyebut, perlu ada klarifikasi soal panutannya yang saat ini sedang viral karena memamerkan foto bersama ketiga istrinya yang diunggah di medsos. Kenapa klarifikasi itu tidak dibuat saja sebuah tulisan yang "berkelas" lengkap dengan teori-teori keagamaan yang mendukung, bahwa ulama zaman now, lebih "berbobot" dibanding ulama terdahulu? Bagi saya, ini lebih baik, sehingga tradisi transmisi keilmuan melalui karya tulis akan lebih bernilai akademis, dibanding sekadar klarifikasi.

Saya sendiri merupakan produk pesantren yang selama lebih dari enam tahun berada dari satu pesantren ke pesantren lain dengan kultur yang berbeda. Saya tentu merasakan, bagaimana tradisi keilmuan ulama terdahulu sangat kuat, lengkap dengan berbagai jejak keilmuannya yang bisa diakses hingga saat ini. 

Kehidupan nyantri saya yang pernah besar di lingkungan Nahdliyyin sekaligus Muhammadiyah, justru menjadi "nilai lebih" dalam cara saya memahami berbagai karakteristik ulama terdahulu dalam membangun dan mengembangkan tradisi keilmuannya. Membandingkannya dengan ulama zaman now, rasa-rasanya terlampau jauh berbeda. 

Para ulama Nusantara terdahulu, misalnya, cenderung menjadi silent majority, tetapi menjaga tradisi keilmuannya bahkan menghasilkan banyak karya tulis yang terabadikan sepanjang zaman. Ulama zaman now, rasanya justru menjadi "spoken majority" atau bahkan "megaphone majority" yang seringkali berebut pengaruh serta "simbolisasi" yang ramai bukan karena karya-karya tulisnya, tetapi justru keinginan mereka agar "diakui" keulamaannya oleh masyarakat.      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun