Di tengah menguatnya arus "fundamentalisme" yang dijalankan lewat "ruang akrobatik" kaum salafi, mereka tampak mengaburkan batas-batas agama dan seni. Bahkan dalam tahap tertentu, kaum salafi tak pernah mengakui bahwa Islam hadir di Nusantara melalui proses akulturasi yang panjang, mereka justru seringkali "mempertentangkan" Islam sebagai ajaran agama dengan budaya dan kearifan lokal masyarakat.Â
Tak heran, jika belakangan model dakwah mereka menyasar kalangan tradisi dengan menuduh cara berprilaku mereka sebagai bid'ah bahkan kafir yang bertentangan dengan agama. Jika wali songo berhasil mengislamkan Nusantara, maka model dakwah "wali songong" sedang dipertontonkan mereka dengan mengkafirkan siapa saja yang tak sesuai dengan klaim kebenaran agama menurut mereka.
Peran ulama Nusantara yang bercermin dari metode Wali Songo dalam menyebarkan ajaran Islam, jelas lebih menitikberatkan pada proses peradaban: mengajarkan nilai-nilai keislaman yang diadaptasi dari setiap tradisi, budaya dan kearifan lokal yang baik, kemudian dikemas melalui serangkaian contoh prilaku yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kondisi setempat.Â
Islam Indonesia pada akhirnya mempunyai ciri khas, sebagai bagian dari "produk budaya", bukan semata-mata mengadopsi "budaya Arab" yang seakan proses "Islamisasi" diubah menjadi "Arabisasi". Bukankah kitab suci al-Quran selain kalam Tuhan juga merupakan "produk budaya" yang terkait dengan proses adaptasi nilai-nilai, kesejarahan dan kebudayaan manusia?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H