Hari ini bertepatan dengan tanggal 10 Muharram 1439 Hijriyah, hari dimana lekat dengan sejarah kelam umat muslim, dimana cucu Rasululullah, Sayidina Husen dipenggal kepalanya di Padang Karbala oleh Khalifah Yazid bin Muawiyah yang dikenal fasiq dan bengis. Pada 10 Muharram (Asyura), sejak masa Jahiliyah, Rasululullah menjalankan puasa "wajib" mengikuti tradisi leluhurnya yang juga selalu berpuasa pada bulan ini.Â
Asyura sepertinya memiliki keistimewaan, bahkan di Indonesia, yang belakangan dikenal dengan istilah "lebaran yatim" menumbuhkan semangat filantrofi yang begitu mendalam di kalangan umat muslim. Tidak hanya itu, nama bulan "Suro" juga diadopsi dalam budaya Jawa sebagai bulan "kramat" yang lekat dengan tradisi-tradisi suci yang tetap terpelihara hingga saat ini.
Kita tentu saja sangat heran, ketika Rasulullah saja begitu sangat menjaga tradisi keyakinan leluhurnya, lalu tiba-tiba ada sebagian umat muslim yang justru "melawan" tradisi leluhur dan dianggap sebagai hal yang bertentangan dengan ajaran agama. Puasa Asyura yang dilakukan Rasulullah, tetap dijalankan meskipun syariat berpuasa bulan Ramadan saat itu telah ditetapkan.Â
"Man sya'a falyasumhu wa man sya'a fal yuftirhu" (bagi yang mau berpuasa silahkan yang tidak juga tidak apa-apa), demikian ungkapan Rasulullah yang diabadikan dalam hadis riwayat Muslim dalam bab Puasa Hari Asyura. Menghormati tradisi yang telah berjalan sekian lama telah secara jelas dicontohkan Rasulullah, namun masih saja sebagian kalangan muslim menolak, entah karena tradisi itu merupakan fenomena yang tumbuh berdasarkan "nilai-nilai" dalam masyarakat sehingga tak pernah dianggap sebagai "tradisi yang baik" walaupun telah dicontohkan Nabi-Nya.
Kalimat yang diucapkan Rasulullah soal peringatan Asyura, tentu saja berimplikasi pada sebuah pilihan bebas, namun tetap bertanggung jawab. Jika anda suka silahkan "ikuti" tradisi tersebut, jika tidak suka, silahkan tinggalkan saja, tanpa harus ada perdebatan bahkan kecaman atau penolakan. Ini terjadi di negeri ini, ketika ada sebagian masyarakat yang keukeuh menolak dan mengecam tradisi, meskipun tradisi itu baik dan sudah berjalan tanpa konflik ditengah-tengah masyarakat. Saya yakin, diantara sebagian besar umat muslim Indonesia seringkali merasakan, betapa banyak perdebatan bahkan pelarangan sebuah tradisi yang telah sekian lama menjadi bagian dari umat muslim di negeri ini.
Yang tentu saja menggelikan adalah penolakan atau kecaman terhadap adanya sebuah patung, yang dianggap sebagai perwujudan "simbolisasi" ideologi atau keyakinan tertentu. Beberapa waktu yang lalu, pernah dihebohkan oleh keberadaan patung Dewa Perang Kwan Sing Tee Koen di Klenteng Tri Dharma Kwan Sing Bio, Tuban, Jawa Timur. Bahkan yang lebih menggelikan, ada kecaman dari mereka yang menyebut Purwakarta sebagai "kota patung" padahal dulu adalah "kota tasbih".Â
Patung dan tasbih keduanya jelas hanya "simbol" yang terkait dengan tradisi dan kebudayaan yang sudah sepatutnya tak dipertentangkan. Baru-baru ini, patung Tugu Tani malah dituduh sebagai perwujudan simbolisasi komunis, karena patungnnya berwujud Pak Tani? Menyamakan petani dengan simbolisasi komunis, rasanya jauh panggang daripada api.
Saya agak bingung dengan alasan-alasan penolakan mereka yang "gagal" memaknai tradisi. Padahal, puasa Asyura adalah tradisi Yahudi yang hingga akhir hayatnya, Rasulullah tetap melaksanakan dan hormat terhadap tradisi tersebut. Tak ketinggalan, hampir seluruh umat muslim yang taat, juga berpuasa pada hari ini, sebagai "simbol" menghormati tradisi yang juga dicontohkan dan diamanatkan oleh Rasulullah.Â
Saya kira, perwujudan sebuah patung adalah bagian terpenting dari sebuah tradisi yang hidup dalam sebuah masyarakat, entah itu patung dewa, patung tani, atau patung wayang sekalipun. Menjaga dan menghormati tradisi justru lebih baik, ketimbang memaksakan kehendak atas klaim kebenaran dalam kepala kita sendiri. Kehidupan dan keberlangsungan sebuah tradisi akan linier dengan perkembangan dan kemajuan sebuah masyarakat, bukan sebuah upaya kemunduran!
Saya justru terbayang, bagaimana bengisnya Khalifah Yazid bin Muawiyah yang dengan congkaknya membuat pertumpahan darah terhadap sesama muslim, hanya karena "gagal" memahami tradisi. Tragedi Karbala adalah fenomena bagaimana "Islam" bisa dibajak sebagai label hanya untuk nafsu semata, menghancurkan apapun yang tak sesuai dengan keinginan dan ideologinya.Â
Tak heran, ketika tragedi ini oleh Imam Abdullah bin Alwi Al Haddad dalam Tastbit al-Fuad ditegaskan bahwa Hari Asyura adalah hari kesedihan. Saya kira, sebagai muslim kita tentu perlu introspeksi diri, menjadikan diri kita sadar akan begitu bertebarannya relasi sejarah yang seharusnya mampu menggugah setiap cara pandang kita yang terlampau sempit.