Menarik melihat berbagai isu belakangan yang mengangkat nama Jenderal Gatot Nurmantyo dalam ruang bebas publik. Setelah manuver kontroversialnya mengenai nonton bareng film G30S/PKI yang diwajibkan kepada seluruh prajurit TNI, Gatot melontarkan isu soal adanya pembelian 5000 pucuk senjata yang dilakukan institusi diluar TNI/Polri.
Kontan saja, isu ini menyeruak ditengah publik sehingga muncul banyak persepsi yang mengkaitkan isu kebangkitan komunisme yang dihubungkan dengan adanya informasi soal pembelian ribuan pucuk senjata. Meskipun isu ini ditepis oleh pemerintah melalui Kemenhan, namun bagi saya, Gatot sepertinya sedang menjalankan apa yang disebut logika politik militer: menjalankan kegiatan khusus untuk menjaga keutuhan masyarakat dan negara dengan menggunakan kekuataan paksaan (coercion).
Dalam sejarah negara dimanapun, militer merupakan sebuah kekuatan politik yang tak bisa dianggap enteng. Keberadaan militer bukan saja sebagai kelompok profesional sebagai alat negara, namun fungsi militer sebagai penjamin keutuhan dan ideologi negara merupakan kekuatan tersendiri yang patut diperhitungkan. UUD 1945, saya kira telah menjamin kedudukan yang sama dalam konteks kesetaraan sosial-politik antara sipil dan militer. Sehingga, membuat dikotomi antara keduanya, justru tak pernah dikenal dalam sejarah NKRI.
Undang-undang tak pernah menjamin supremasi sipil atas militer, yang ada keduanya memiliki kedudukan yang sama dalam perspektif hukum. Itulah mengapa, penghapusan dwi funggsi militer bukan berarti membatasi ruang gerak militer dalam kegiatan politik. Dwi fungsi militer yang mengajarkan "sipil militer sama saja", justru telah membuat dominasi militer atas sipil semakin terasa, terutama ketika menyusup dan mencengkram ruang-ruang aspirasi publik.
Siapa yang berani secara terbuka mempermasalahkan manuver-manuver Jenderal Gatot? Saya kira, Presiden Jokowi-pun harus berpikir dua kali untuk sekadar "mengkritik" atau membuat pernyataan politik menyindir isu-isu yang dilontarkan Jenderal TNI ini. Ada benarnya ketika membaca analisa Prof Salim Said yang menyebutkan bahwa sudah sejak berdirinya Republik ini, tentara adalah "partai" yang sepanjang sejarahnya dipimpin oleh panglima tertinggi di tubuh organisasi militer itu sendiri. Sebuah partai, tentu saja menjalankan seluruh fungsi politiknya dalam ruang besar aspirasi publik: melontarkan isu, membuat deal-deal politik dan tentu saja dapat mempengaruhi setiap kebijakan publik yang digulirkan pemerintahan.
Kebijakan mengenai nonton bareng film G30S/PKI dan isu pembelian ribuan pucuk senjata yang dilontarkan ketengah publik oleh Jenderal Gatot sepertinya menunjukkan sulitnya ditarik garis batas antara pelaksanaan fungsi militer sebagai institusi yang bertugas melindungi negara dengan militer yang punya kepentingan sebagai kelompok.
Apalagi jika melihat secara lebih seksama, seakan ada beberapa hal yang bertolak belakang dengan kepentingan negara, terutama soal kebijakan nonton bareng film sejarah PKI yang bukan kebijakan pemerintah, tetapi kebijakan khusus yang diinisiasi oleh pihak militer. Bahkan soal isu pembelian senjata lebih jelas lagi, seakan bahwa tak ada keselarasan informasi yang berasal dari satu sumber: intelijen negara. Menhan, Wiranto, malah menyatakan ada persoalan komunikasi yang tidak tuntas, aneh bukan?
Memang, sejauh ini, keberadaan militer seakan luput dari perhatian publik, entah karena domain kekuasaan politik sekarang diisi oleh dominasi sipil atau karena efek reformasi yang selalu meminggirkan peran militer dalam kancah politik praktis. Bagi saya, Gatot pandai dalam memainkan peran untuk mengambil simpati publik ditengah situasi sosial-politik yang kurang kondusif belakangan ini. Apakah hal ini terkait dengan semakin dekatnya kontestasi politik nasional 2019 mendatang? Bisa iya dan bisa juga tidak, tergantung siapa dan ada kepentingan apa ketika mempersepsikan logika politik militer ditengah menghangatnya isu pilpres 2019.
Harus pula diakui, bahwa peran politik militer dalam kekuasaan sepertinya semakin meredup, terutama setelah penghapusan dwi fungsi militer setelah bergulirnya reformasi. Keberadaan kelompok militer ditengah dominasi sipil seakan "kehilangan kewibawaan untuk memerintah" (lack of legitimacy), sehingga satu-satunya logika politik yang bisa dijalankan adalah menjalankan fungsinya sebagai penjaga ideologi dan keamanan negara.
Hal inilah kemudian, sangat masuk akal ketika munculnya isu kebangkitan komunisme dan pembelian senjata dimanfaatkan oleh militer sebagai pintu masuk menguatkan peran militer secara politik ditengah dominasi sipil. Alasan keamanan negara dan menjaga ideologi negara kemudian digulirkan melalui dua isu ini. Saya kira, kondisi keamanan negara hanya dapat dipersepsikan oleh militer karena memiliki separangkat alat intelijen yang sangat memadai.
Dengan demikian, bisa dipahami jika Jenderal Gatot Nurmantyo sedemikian dikenal oleh publik, bukan karena pernyataan dirinya yang dianggap kontroversial, tetapi karena memang dirinya merasa bahwa peran politik militer yang sejauh ini senantiasa terpinggirkan. Jika melihat pada peran reposisi dan redefinisi militer dalam kehidupan politik, rasa-rasanya tak ada yang kontroversial akibat pernyataan Gatot, terlebih jika melihat fungsi militer sebagai penjaga ideologi dan keamanan negara.
Terlepas dari situasi politik jelang Pilpres 2019, Jenderal Gatot memang sedang menjalankan fungsi profesionalitas militer tanpa harus dihubungkan dengan komoditas politik. Lagi pula, tidak ada dikotomi sipil-militer dalam undang-undang yang ada, keduanya memiliki hak yang sama dan kedudukan yang sama ditengah ruang kebersamaan publik, baik dalam kegiatan sosial, politik, maupun ekonomi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H