Membicarakan soal kepemimpinan wanita terlebih presiden wanita bagi saya cukup menarik. Hal ini dikarenakan begitu jarangnya seorang wanita tampil menjadi pemimpin negara, bahkan disebuah negara yang demokratis sekalipun, maskulinitas sepertinya tetap menjadi "simbol" bagi kepemimpinan negara. Amerika yang diklaim sebagai negara yang undang-undangnya ketat soal kesetaraan gender, hingga saat ini belum pernah ada presiden wanita yang tampil memimpin negara adidaya tersebut.Â
Kegagalan Hillary Clinton pada pemilu presiden di Amerika, paling tidak menunjukkan begitu kuatnya mindset maskulinitas yang tertanam dalam setiap benak warga Amerika. Lagi-lagi, dominasi pria yang layak menjadi pemimpin negara tetap sulit terbantahkan dan menjadi realitas di hampir seluruh belahan dunia.
Memang, terdapat beberapa pemimpin negara wanita yang cukup populer di dunia, walaupun tetap saja kepemimpinan pria seakan mendominasi ruang-ruang sejarah kemanusiaan. Maskulinitas tampaknya lebih banyak berpihak dibanding feminitas, bahkan melekat dalam istilah kebahasaan. Kata "history" bukan "herstory" yang berarti "sejarah" juga terkesan maskulin, sehingga kesejarahan manusia selalu saja didominasi oleh kaum pria dan itu benar-benar realitas. Kita kesampingkan dulu realitas maskulin yang mengisi ruang-ruang sejarah manusia, yang menarik saat ini adalah munculnya pemimpin negara wanita di Singapura, Halimah Yacob, yang belum lama ini terpilih secara aklamasi menjadi presiden di negeri Singa itu.
Halimah yang bertenis Melayu dan muslim bagi saya sangat menarik, ketika dirinya mampu menjadi pemimpin negara yang notabene mayoritas nonmuslim. Meskipun sistem pemilihan presiden di Singapura tidak dijalankan melalui mekanisme pemilu, tetapi secara bergiliran berdasarkan keterwakilan dari setiap etnis yang ada, tetapi terpilihnya Halimah paling tidak menunjukkan kepercayaan yang cukup besar dari masyarakat untuk menggantungkan seluruh harapan mereka kepada kepemimpinan seorang wanita. Halimah, berarti pemimpin negara wanita muslim kesepuluh, setelah sembilan pemimpin negara wanita muslim lainnya diabadikan dalam sejarah. Tansu Ciller (Turki), Megawati (Indonesia), Mame Medior Boye (Senegal), Atifete Jahjaga (Kosovo), Roza Otunbayeva (Kirgistan), Sheikh Hasina (Bangladesh), Benazir Butho (Pakistan), Khaleda Zia (Bangladesh), dan Ameenah Fakim (Mauritus) merupakan sederetan nama pemimpin negara wanita muslim yang diabadikan dalam sejarah dunia.
Soal kepemimpinan wanita, memang ada saja pro dan kontra dalam sejarah peradaban Islam. Bahkan, banyak di antara umat muslim yang melarang mutlak wanita menjadi pemimpin, terlebih pemimpin negara. Padahal, kitab suci Al-Quran yang menjadi rujukan mereka soal kepemimpinan, secara tegas tak pernah membedakan secara gender, bahwa pria dan wanita jelas memiliki kedudukan yang sama di hadapan Tuhan. Perhatikan ketika Al-Quran membicarakan soal kedudukan manusia, "Sesungguhnya Aku ciptakan kalian dari (jenis) laki-laki dan perempuan..." (QS Al-Hujarat: 13), ini jelas mengisyaratkan persamaan dalam banyak hal. Perbedaan pria dan wanita hanyalah sebatas biologis, tidak bersifat institusional sebagaimana disangkakan banyak orang yang bersumber dari beragam kajian Islam klasik.
Saya justru mengamini almarhum KH Abdurrahman Wahid ketika mengulas soal kepemimpinan wanita dalam Islam. Menurutnya, ajaran Islam memang melarang wanita menjadi pemimpin, tetapi dalam konteks perseorangan (individual leadership) bukan dalam konteks kelembagaan seperti sekarang ini. Seorang pemimpin individual pada masa sejarah Islam awal, jelas terkait dan melekat sebagai imam sholat sekaligus pemimpin perang yang harus siap setiap saat.Â
Oleh karena itu, wanita dipandang tak mampu jika harus mengemban tugas-tugas berat sekaligus. Adapun dalam konteks institusional/kelembagaan, seperti kepala negara misalnya, pemimpin tidaklah individual, tetapi kolegial karena dibantu oleh pihak lain dalam bingkai besar pemerintahan negara.
Bagi saya, soal kepemimpinan wanita adalah sebuah realitas sejarah, bahkan sudah ada sejak dulu, menjadi bagian dari sejarah peradaban manusia itu sendiri. Bukankah kitab suci Al-Quran pernah mengisahkan seorang penguasa negeri bernama Ratu Balqis yang juga seorang wanita? Ini artinya, kepemimpinan wanita jelas menyejarah, walaupun memang dominasi pria selalu saja lebih kuat. Hal inilah yang kemudian dinyatakan dalam Al-Quran bahwa "kaum pria telah menjadi dominan atas kaum wanita" (arr-rijaalu qowwamuuna 'ala an-nisaa). Padahal, ayat ini seringkali dipergunakan sebagai dalil bahwa "pria adalah pemimpin wanita", justru bagi saya kurang tepat memaknainya.
Dominasi pria atas wanita dalam hal kepemimpinan jelas terbukti dalam sejarah, ketika kita melihat persentase pemimpin wanita di seluruh dunia. Mungkin baru beberapa wanita saja yang berhasil menembus puncak tertinggi dalam sebuah kontestasi kekuasaan politik, entah itu menempati posisi  presiden atau perdana menteri. Bahkan, ketika dilihat dari kacamata keyakinannya yang dianut, pemimpin negara wanita muslim hanyalah berjumlah 10 orang sepanjang sejarah politik modern.Â
Saya meyakini, tak ada larangan dalam agama Islam, soal kepemimpinan wanita dalam politik, terlebih di tengah masyarakat yang semakin plural. Pria dan wanita jelas memiliki kesempatan yang sama untuk dapat berkarir dalam bidang apapun, termasuk menjadi pemimpin sebuah negara.
Halimah Yacob, saya kira menambah jumlah presiden wanita muslim di era masyarakat dunia yang semakin plural, tanpa sedikit pun dipersoalkan soal kedudukan dirinya yang seorang wanita. Halimah tetap didukung oleh kebanyakan rakyat Singapura tanpa mempersoalkan etnis, budaya atau agama. "Salah satu fokus dan fungsi utama presiden terpilih adalah bertindak sebagai kekuatan pemersatu. Tentunya ada pekerjaan yang harus saya lakukan, tapi yang terpenting adalah saya ingin warga Singapura bekerja sama dengan saya. Presiden mewakili seluruh ras, agama, dan komunitas di Singapura," demikianlah salah satu pernyataan dirinya dalam sebuah acara televisi Singapura. Selamat untuk Madam Halimah Yacob, semoga dapat membawa berkah untuk rakyat Singapura!