Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Koruptor dan Ruang Gelap Pemberantasan Korupsi

12 September 2017   10:45 Diperbarui: 12 September 2017   11:03 801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nanti dulu, kekuasaan tak semudah itu diberikan kepada pihak lain, walaupun para penguasa sadar betul bahwa Tuhan-lah yang berhak memberi dan mencabut kekuasaan manusia. Tetapi seni dalam mengolah, mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan, itu adalah cara politik yang harus dijalankan tanpa ada campur tangan Tuhan didalamnya.

Politik koruptor jelas tak akan menggunakan argumentasi Ketuhanan, apalagi harus berpikir segala hal "kedisanaan", dimana segala yang diperbuatnya hari ini, akan mendapatkan keadilan nanti "disana" dengan seadil-adilnya. Terminologi "adil" dalam kacamata politik koruptor adalah bagaimana sebuah prinsip keadilan hanya berpihak kepadanya walaupun harus ada yang dikorbankan demi keadilan bagi mereka. Buktinya, mereka merasa terzalimi oleh ulah lembaga antirasuah yang mengungkap kasus-kasus korupsi tetapi justru "membahayakan" kekuasaan mereka. Lalu, ketika Novel Baswedan tampak dizalimi, dalam teori politik koruptor tidak demikian, kondisinya jelas diputarbalikkan, bahwa Novel-lah yang menzalimi mereka. Inilah praktik politik koruptor yang dengan cerdik memutarbalikkan sesuatu yang adil tampak zalim dan sebaliknya.

Banyak orang yang beranggapan bahwa politik itu "kotor" penuh kelicikan dan kebohongan bahkan selalu berada pada ruang penuh kegelapan. Ada benarnya memang, walaupun ada saja sedikit orang berpolitik untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan. Dulu, bapak saya pernah berujar, "kekuasaan itu ibarat 'ngemut' permen, dibuang sayang walaupun 'diemut' membosankan". 

Fenomena politik koruptor sama halnya dengan "ngemut permen" karena saking enaknya mereka lupa, bahwa permen lama-lama akan habis dan kenikmatannya berangsur hilang. Bayangkan, jika anak kecil yang ngemut permen lalu diminta, betapa berontaknya dia dan tak mau begitu saja berbagi kenikmatannya dengan orang lain.

Saya khawatir, seni berpolitik korup justru lebih kuat mewarnai praktik-praktik kekuasaan di negeri ini, sehingga benar-benar menghapus praktik berkesenian politik yang baik, dengan mengedepankan kejujuran dan keadilan. Jangankan bermimpi menjadi penyokong kekuatan demokrasi, melek soal kejujuran dan keadilan saja belum pernah. Hal inilah kemudian yang berakibat pada sulitnya memberantas korupsi, kalaupun ada yang terungkap, cukup hanya mengisi ruang-ruang gelap kekuasaan, tak pernah ada kejelasan atau kelanjutannya bahkan hilang tanpa bekas. 

Tak cukup rasanya kita berdoa saja atau berunjuk rasa berkoar-koar menunjukkan pembelaan kepada lembaga antirasuah, karena kita dituntut untuk berani membongkar ruang-ruang gelap pemberantasan korupsi, agar jelas dan terang benderang, mana politik koruptor dan mana politik anti-korupsi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun