Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Koruptor dan Ruang Gelap Pemberantasan Korupsi

12 September 2017   10:45 Diperbarui: 12 September 2017   11:03 801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika politik diartikan sebagai seni dalam hal memperoleh kekuasaan yang tentu saja bisa dilakukan dengan beragam cara, maka "politik koruptor" berarti bagaimana kekuasaan yang cenderung korup itu dipertahankan, dirawat, dan bahkan dibela tanpa harus peduli bahwa mentalitas kekuasaan korup sebenarnya telah menghancurkan sendi-sendi kekuasaan itu sendiri. 

Seni memberantas korupsi bagi koruptor bukan terletak pada soal berapa banyak uang yang sudah diambil dari negara, tetapi bagaimana caranya agar uang negara yang sudah ia dapatkan, dipertahankan karena itu merupakan "keuntungan" yang sudah semestinya diberikan negara kepada mereka. Para koruptor jelas gila kuasa dan tak mau kekuasaan itu lepas, dialihtangankan kepada pihak lain, atau dikendalikan oleh orang-orang jujur dan berintegritas.

Fenomena politik koruptor saya kira sangat jelas, disaat adanya sebuah kekuatan yang terus menerus mempreteli legitimasi lembaga antirasuah dari banyak sisi. Setelah para koruptor mulai merasa terancam kekuasaannya, maka beramai-ramai mereka membentuk formasi kekuatan penuh mencoba menggulingkan kekuatan antikorupsi melalui seni berpolitik: membuat seolah-olah terjadi konflik internal dalam lembaga antirasuah, membunuh karakter para orang-orang jujur di dalamnya dan menyingkirkan dengan cara apapun mereka yang memiliki integritas, termasuk siapa saja yang tak mau kompromi dalam hal korupsi, dilukai atau dibunuh agar bisa digantikan oleh orang lain yang pro-koruptor. 

Saya kira suasana ini dapat dirasakan belakangan ini, disaat lembaga antirasuah terus dimandulkan perannya, orang-orang didalamnya pun yang memiliki integritas mulai "dibersihkan".

Saya beranggapan, sungguh teramat pilu nasib penyidik senior KPK Novel Baswedan, belum juga terungkap soal siapa yang menyiramkan air keras kepadanya, kini ia mulai "ditelanjangi" bahkan "dikuliti" integritasnya, menjadi seolah-olah dirinyalah yang membuat gaduh dan menghalang-halangi proses penegakkan hukum, terutama menyangkut soal praktik korupsi. 

Belum juga Novel pulih dari sakitnya akibat diserang antek-antek koruptor, dirinya harus berhadapan dengan beragam tuduhan yang menyudutkan bahkan mendiskreditkan dirinya sebagai penyidik senior yang telah malang-melintang membongkar beragam kasus korupsi. Novel, misalnya, dituding menekan dan memperlakukan tersangka korupsi dengan kasar, menyuruh orang lain membuat kesaksian palsu dan yang paling menyakitkan dituduh pura-pura sakit dan pengobatannya dibiayai asing.

Beragam cara untuk menutupi dan menyelamatkan kekuasaan korup sangat jelas nyata dirasakan, terutama melihat pada konteks kasus Novel Baswedan yang tak pernah kunjung selesai. Pelaporan atas dirinya yang dituduh mencemarkan nama baik pimpinannya, bahkan diumbar di depan khalayak ramai, bahwa Novel adalah "orang kuat" di lembaga antirasuah tetapi dianggap sebagai "duri" dalam lembaga tersebut. Bagaimana tidak, semua tuduhan seakan memposisikan Novel sebagai benalu bagi pemberantasan korupsi, bukan pahlawan penangkap koruptor. 

Yang menggelikan, kasus sarang walet yang dulu hampir saja memenjarakannya, kini dibuka dan dipertanyakan kembali, layaknya kasus baru yang harus perlu segera diselesaikan aparat penegak hukum.

Pemberantasan korupsi di negeri ini, selalu saja berujung di ruang gelap, karena setiap sebuah kasus besar diungkap, kegelapan selalu saja melingkupinya. Antusiasme masyarakat terhadap pemberantasan korupsi nampaknya tak berbanding lurus dengan para penguasa korup yang gila kekuasaan, kehormatan atau harga diri. 

Lalu, sampai kapan kita tetap berada di ruang gelap pemberantasan korupsi? Sampai tak ada lagi lembaga kuat yang memberantas korupsi? Atau haruskah menunggu para penguasa korup ini mati? Sulit sekali rasanya membayangkan, bahwa seluruh elemen masyarakat yang ada bersama-sama gigih memberantas korupsi di negeri ini.

Tak tanggung-tanggung, politik koruptor secara meyakinkan memainkan perannya secara rapi dan terstruktur, memenuhi lini-lini kekuasaan, termasuk bagaimana aparat penegak hukum seperti kepolisian atau kejaksaan bisa menggunakan wewenangnya untuk membungkam lembaga antirasuah. Politik jelas adalah seni memperoleh dan melanggengkan kekuasaan, lalu siapa yang mau dengan rela melepas kekuasaannya? Atau memberikannya Cuma-cuma kepada pihak lain? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun