Siapa yang tak kenal kopi? Saya kira hampir setiap orang pernah merasakan kenikmatan bubuk hitam yang diseduh ini, dengan atau tanpa gula, ia tetap menjadi bagian yang tak bisa lepas dari sejarah manusia itu sendiri. Hari Sabtu dan Minggu (9-10/9/2017) merupakan perjalanan paling menarik bagi saya ketika dapat mengunjungi kebun Kopi Malabar di daerah pegunungan Malabar, Pengalengan, Bandung. Acara "ngopidikebun" jilid 3 yang diinisiasi Tempo, jelas membawa pengalaman paling menarik dalam hidup saya. Undangan yang disampaikan kepada blogger yang aktif menulis di blog publik Indonesiana untuk ikut pada acara ini, jelas merupakan apresiasi Tempo kepada para narablog agar terus menulis segala hal yang bermanfaat bagi masyarakat. Saya, mungkin salah satu yang beruntung diantara sekian blogger untuk bergabung dalam kegiatan ini.
Mungkin belum banyak orang mengenal Kopi Malabar asal Bandung, dibanding Kopi Aroma yang telah melegenda dari kota yang sama, Kopi Gayo asal Aceh, atau Kopi Toraja asal Sulawesi. Bagi para penikmat kopi sejati, masing-masing dari jenis kopi ini telah memiliki rasa khas tersendiri yang bisa saja melekat menjadi suatu kenikmatan tersendiri yang sulit tergantikan. Bagi saya, yang juga penikmat kopi meskipun belum sejati, memang dapat merasakan rasa khas dari beragam kopi Nusantara, walaupun tak bisa berteori soal rasa dan filosofi kopi yang umumnya banyak ditulis oleh mereka yang profesional soal ngopi. Kopi Malabar, bagi saya, memiliki nuansa rasa khas, tak kalah dengan rasa kopi-kopi dunia yang dijual di gerai-gerai pusat perbelanjaan di Ibu Kota.
Perkebunan kopi di Malabar Mountain Coffe, berada sekitar 1.600 mpdl dengan luas lahan perkebunan kurang lebih 70 hektar, cukup untuk mendapatkan produksi kopi yang maksimal. Jenis kopi yang ditanam disini adalah Sigarar Utang dan ada juga varietas lain, seperti Ateng Super, sebuah perpaduan menarik dari varietas Arabika dan Robusta. Saya tidak begitu paham soal ini, namun yang jelas, jenis-jenis kopi tersebut memang yang paling banyak ditanam di Indonesia. "Kopi adalah soal bagaimana kita merawatnya, karena kopi jelas untuk seumur hidup", demikian celoteh pemilik kebun Kopi Malabar, Slamet Prayoga.
Tak perlu begitu lama ia harus beradaptasi dengan tanaman kopi, walaupun sebelumnya ia lebih banyak mengenal tanaman karet atau buah-buahan lainnya. Usahanya yang telah digeluti kurang lebih 7 tahun, membuat Pak Yoga semakin peduli akan arti dan filosofi kopi bahkan jauh melampaui, bahwa kopi bukan sekadar dinikmati, dirawat, dinilai atau dijual, tetapi bagaimana kopi Indonesia lebih melegenda dan sanggup "menasionalisme" dirinya: dinikmati, dibeli, dijual dan diproduksi oleh bangsa sendiri. Nasionalisme Pak Yoga kelihatannya menguat sejak 2013 lalu, ketika ia menghentikan proses ekspor Kopi Malabar karena dengan cara ini, produksi kopinya akan jauh lebih bermanfaat bagi bangsa dan negeri sendiri. "Biarlah saya putuskan untuk tidak ekspor, karena bagi saya, kopi ini harus dinikmati oleh orang kita sendiri," demikian ungkap sosok sederhana ini.
Kendaraan yang membawa tim kami jelas model pickup dengan double cabin yang merajai jalur track licin dan menanjak, yaitu Toyota Hilux. Mobil ini sengaja didatangkan dari Jakarta, sebagai keikutsertaan Toyota menjadi sponsor dalam perjalan "Ngopidikebun" ini. Saya kira, mobil Toyota jenis ini memang selalu menjadi pilihan bagi mereka yang berkutat dengan jalur curam, menanjak atau medan licin yang dipenuhi bebatuan, umumnya jalur-jalur menuju pegunungan atau perbukitan.
Hamparan menghijau berbagai tanaman sayuran yang diapit oleh perkebunan teh, menambah suasana pegunungan yang asri dan sejuk semakin terasa sepanjangan perjalanan menuju perkebunan. Inilah barangkali sebuah "keajaiban" alam yang selalu diburu oleh mereka yang "muak" dengan kehidupan kota yang hiruk-pikuk dengan laju kendaraan, gedung-gedung tinggi yang kesemuanya merusak pemandangan alam. Ditempat seperti ini, saya kira, orang-orang kota justru mendapatkan sedikit kegembiraan dan keceriaan, melupakan sejenak kehidupan kota yang teramat penat.
Kegiatan "Ngopidikebun" yang sebelumnya diprakarsai oleh acara "Ngopidikantor" merupakan kegiatan rutin kantor Tempo yang juga barangkali sebuah upaya mencoba "keluar" dari kepenatan rutinitas kerja yang terlampau formal. Dalam hal ini, saya sangat berterimakasih kepada Tempo, karena bukan hanya acara "Ngopidikebun" sebagai sasaran utamanya, tetapi agar para narablog di Indonesiana semakin dekat dengan para "mentor"nya di Tempo.
Saya hanya terbengong-bengong disaat kopi-kopi ini diracik menggunakan alat-alat modern, berbeda dengan kebiasaan saya menyeduh kopi langsung dari gelasnya. Barangkali, inilah rasa sensasi kopi yang berbeda dari biasanya, bahkan saya merasakan khas kopi istimewa pada kopi Malabar dengan tanpa gula menyusuri hampir seluruh rongga mulut bersamaan dengan lidah yang merasakan kekhasannya. Aroma "honey" (manis) yang keluar dari biji kopi yang diolah, seperti sensasi fruity yang kuat disetiap seruputannya. Â