Oleh karena itu, wajar ketika Rasulullah menganggap bahwa "haji mabrur" itu identitas tertinggi yang disematkan kepada seorang muslim, bukan karena ia selesai melaksanakan ritual haji, tetapi kata "mabrur" sejatinya mengandung kesempurnaan dari seluruh rukun Islam yang terpenuhi dengan baik. Kata "mabrur" yang terambil dari kata "birr" bermakna kebajikan yang lekat dengan kegiatan-kegiatan sosial.
Berkurban pada hari raya Idul Adha, bukan semata-mata karena seseorang "mampu" berkurban, tetapi ada keinginan yang kuat dalam dirinya agar bisa lebih dekat dengan Tuhannya dan sekaligus lebih dekat dengan sesamanya. Kurban adalah "dekat", menyatunya seseorang dalam ranah fisik dan metafisik, keseimbangan (equilibrium) antara kemanusiaan dan ketuhanan. Kurban justru akan kehilangan maknanya jika sekadar memenuhi tuntutan sosial dan rugi jika identitas sosialnya dipermalukan karena tidak berkurban.Â
Keingingan berkurban jelas, karena ini adalah sarana pendekatan dirinya dengan Tuhan dan juga sesama manusia. Dirinya "bersedekah" kepada Tuhan dan sekaligus sedekah sosial yang akan merekatkan ikatan-ikatan sosial. Berkurbanlah, atas rasa syukur kepada nikmat Tuhan yang ditunjukkan dengan membangun ikatan sosial secara lebih baik. Wallahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H