Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dagelan Reklamasi

30 Agustus 2017   12:18 Diperbarui: 30 Agustus 2017   19:11 1228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Soal reklamasi pantai utara Jakarta sudah sejak lama menuai pro-kontra, bukan saja karena proyek reklamasi secara langsung menghantam kondisi lingkungan laut menjadi tak lagi ramah karena dipaksa diurug menjadi daratan, tetapi juga kental dengan nuansa politis yang hanya menguntungkan segelintir orang dan tentu saja pada saat yang sama merugikan orang lain. Walaupun yang lebih menonjol adalah aspek politis-nya, proyek reklamasi sejatinya juga akan menjadi solusi bagi kondisi Jakarta yang obesitas, karena pulau-pulau buatan ini tentunya mampu memindahkan sebagian warga Jakarta yang jumlah penduduknya 10 juta lebih. Jakarta tentu saja menanggung beban berat atas over kapasitas penduduk, sehingga keberadaan pulau-pulau reklamasi bisa menjadi alternatif bagi hunian baru warganya.

Proyek reklamasi pantai utara Jakarta yang konon sudah digagas sejak tahun 1995 di era pemerintahan Soeharto, tampaknya selalu mengalami pasang surut. Hal ini mungkin saja karena tak sejalannya antara keinginan pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi DKI Jakarta. Namanya Kementrian Lingkungan Hidup, pasti yang menjadi titik berat persoalan adalah reklamasi akan mengganggu dan merusak lingkungan. Hal ini berbeda dengan cara pandang pemprov DKI yang tetep ngotot bahwa proyek reklamasi jelas akan banyak menguntungkan. Lagi-lagi disinilah nuansa politis bermain, bahwa keuntungan ekonomi menjadi ukuran bagi kesejahteraan? Urusan soal kerusakan lingkungan itu belakangan, toh walaupun ada kerusakan lingkungan, pemprov tinggal meminta tanggung jawab pengembang saja, beres!

Perjalanan proyek reklamasi dan revitalisasi wilayah pesisir utara pantai Jakarta memang tak selamanya mulus, karena dijegal berbagai macam aturan yang kebanyakan menyoal kajian dampak kelestarian lingkungan. Namun demikian, pemprov DKI tak bergeming, sokongan kepada para pengembang untuk tetap melanjutkan proyek reklamasi ini selalu kuat diatas kertas, sebut saja ketika Gubernur Fauzi Bowo menetapkan SK Gubernur DKI Nomor 2238 tahun 2013 yang memberikan izin reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudera, padahal di tahun 2012, pemerintah menerbitkan Perpres nomor 122 yang hanya mengizinkan pengembang mengkapling-kapling pulau-pulau kecil di Teluk Jakarta. Pengamplingan beda lho dengan reklamasi, catat!

Praktik pembangunan reklamasi pantai utara Jakarta tak ubahnya seperti dagelan, penuh kelucuan politik disana-sini. Tarik ulur perizinan antara pemerintah pusat dan pemprov DKI, kelihatannya berjalan sendiri-sendiri, disinilah modal keekonomian justru paling menentukan. Bagi pihak yang merasa diuntungkan, akan terus menyokong pembangunan ini, tak peduli berapa besar modal keluar yang penting keuntungan sudah terpampang di depan mata. Kisruh soal reklamasi semakin membesar di masa kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, lagi-lagi hal ini disangkutpautkan dengan keinginan dirinya mencalonkan kembali menjadi gubernur DKI Jakarta. Penolakan masyarakat soal reklamasi membuat pemerintah menggagas ide moratorium sampai dipastikan bahwa proyek ini tidak mengganggu kelestarian lingkungan.

Lalu apakah moratorium berlaku sejauh ini? Ternyata tidak, pembangunan proyek reklamasi tetap digarap oleh para pengembang bahkan memperluas pulau yang akan direklamasi, jauh melampaui aturan yang diberlakukan. Lagi-lagi, soal aturan-aturan yang dibuat hanyalah sebatas diatas kertas, tak memiliki kekuatan apapun, sehingga wajar saja ketika banyak masyarakat Jakarta yang gigih menolak proyek reklamasi. Melihat dari lebih banyak masyarakat yang kontra terhadap proyek ini dibanding yang pro, terbersit sebuah pertanyaan, sebenarnya reklamasi untuk siapa? Yakin sebagian warga Jakarta mau pindah dan bekerja di pulau reklamasi? Lengkap dengan fasilitas rumah dan penghasilan yang layak sebagaimana yang dijanjikan? Wallahu a'lam.

Saat ini mungkin pulau-pulau reklamasi itu sudah hampir jadi dan siap dipasarkan kepada warga Jakarta? Yang berminat bisa pindah ke Pulau D, karena sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas pulau seluas 312 hektare itu sudah dikantongi pihak PT Kapuk Naga Indah, salah satu pengembang yang diizinkan pemprov DKI menggaparap lahan reklamasi. Tak perlu menunggu lama, pengajuan sertifikat HGB yang baru tiga hari diserahkan kepada pemerintah pusat, langsung disahkan pemprov DKI dan diserahkan secara simbolis kepada pihak pengembang. Secepat itukah pengurusan HGB? Rakyat biasa yang tak punya duit bisa bertahun-tahun mengurus soal HGB ini.

Pro-kontra soal reklamasi hingga terbitnya moratorium saat ini sudah tak berlaku lagi, sejak Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi nelayan, Walhi dan Kiara. Reklamasi terus akan dilakukan demi kesejahteraan Jakarta, menjadi kota megacity yang setara dengan kota-kota besar di dunia, seperti London atau New York. Yang masih menjadi pertanyaan di benak saya, sebenarnya siapa yang akan menempati pulau reklamasi ini? Rasa-rasanya jika warga Jakarta bedol desa menuju Pulau C atau D yang sudah memiliki hak atas penggunaan lahan sedikit sekali kemungkinannya. Obsesi untuk mengurangi kemacetan atau banjir di Ibu Kota dengan membangun pulau-pulau buatan rasanya tidak masuk akal. Mungkin karena saya terlampau awam paham soal tata kota yang baik, sehingga reklamasi adalah rekayasa sosial bagi Jakarta yang solutif.

Bagi saya yang awam, melihat soal reklamasi yang penuh intrik politik, sepertinya memang sengaja diatur menjadi bahan bagi dagelan sosial. Muncul tokoh-tokoh yang memerankan si kaya dan si miskin yang ditengahnya berdiri para penguasa. Mereka yang kaya akan menyulap penguasa menjadi yakin akan Jakarta yang lebih baik dan modern, sedangkan si miskin akan semakin terpinggirkan dan termarjinalkan dari kota metropolitan yang menjadi impiannya. Biarlah yang miskin tetap di pinggir, yang kaya bisa menguasai tak peduli soal lingkungan yang hancur lebur oleh seonggok nafsu materi yang tak akan dibawa mati. Mau tak mau, kita juga mesti mengukur diri sendiri, siapa kita? Bukan siapa-siapa, dibandingkan mereka yang berlimpah modal jutaan dolar menyulap Jakarta menjadi apa saja yang mereka inginkan. Yang pasti dagelan ini tak akan berakhir, sambil menunggu alur cerita baru, soal pulau mana lagi yang akan direvitalisasi.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun