Belakangan memang banyak diantara sekian orang yang terjangkiti penyakit yang justru menyebabkan situasi dan kondisi sosial bertambah buruk. Hal ini saya kira, dilakukan oleh mereka yang jelas-jelas mengaku sehat secara fisik, tetapi sesungguhnya jauh dari kesempurnaan  kesehatannya (wal'afiat). Bersenang-senang dalam penderitaan orang lain, jelas tidak dilakukan oleh seseorang yang sehat walafiat.
Sama halnya ketika kita menyaksikan kemewahan sepasang suami-istri pemilik First Travel yang gemar mendulang kenikmatan disaat para pengguna jasanya justru terbengkalai dan menanggung kerugian tidak hanya materil tetapi juga identitas sosial dirinya yang dipermalukan didepan publik. Lalu, yakin jika bos pemilik jasa umrah itu sehat? Saya kira tidak, karena sehat tidak dapat diukur secara fisik, sehat harus sempurna sehingga menunjukkan bahwa mereka benar-benar dalam keadaan sehat walafiat.
Dengan demikian, kita tentunya dapat mengukur sendiri, apakah memang sudah berada dalam kondisi sehat saja atau benar-benar sehat walafiat. Jangan terpesona atau terpedaya oleh kondisi fisik yang dirasakan sehat, karena belum tentu mentalitas yang menopang seluruh tubuh kita yang sehat, juga dalam keadaan sama. Jika kita masih merasakan dendam, benci, ingin melihat pihak lain hancur, apalagi terus menebar kebencian, keburukan dan fitnah berarti ada yang sakit dalam diri kita, walaupun sejatinya fisik yang kita rasakan sehat. Persoalan sehat walafiat tentu saja tidak sebatas ungkapan yang meluncur dari bibir, tanpa didasari kebenaran hati nurani. Jawaban kita kepada pihak lain yang dinyatakan dengan ungkapan "sehat walafiat" berarti sempurna sehatnya, baik jasmani dan juga ruhani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H