Terungkapnya aktor penyebar berita hoax dan kebencian yang disebut aparat kepolisian dengan istilah "Saracen" adalah gambaran orang-orang yang sehat tetapi tidak walafiat. Sejauh ini, menjadi kebiasaan umum, ketika kita ditanya soal kabar lalu dijawab, "sehat", namun itu hanyalah gambaran sebatas kesehatan dalam arti fisik, karena secara mental-spiritual belum tentu, apakah sakit atau mengalami gangguan.
Sehat walafiat berarti kondisi seseorang dalam keadaan sehat yang sempurna, lahir, batin, akal, tidak dalam kondisi keburukan atau merasa pihak lain justru dianggap buruk. Sehat walafiat tentu saja kondisi sehat lahir dan batin serta seluruh aspek yang menyangkut kehidupan dirinya dalam keadaan sehat dan tentu saja bahagia dalam segala aspek.
Dalam realitas kehidupan manusia, tentu saja banyak pribadi yang sehat secara fisik, yang ditunjukkan oleh kondisi dirinya secara kasat mata bugar, namun seringkali memiliki cara pandang buruk terhadap pihak lain, lalu dengan bangganya mempublikasikan keburukannya kepada khalayak ramai. Kelompok yang disebut Saracen ini, tentu saja selalu mengumbar keburukan atau kesalahan orang lain dengan cara melebih-lebihkannya sehingga keburukan dan kekurangan pihak lain jelas semakin berkesan kuat.
Disaat mereka bangga dengan cara yang mereka lakukan, padahal mereka sadar bahwa itu merupakan perbuatan salah, mengandung resiko dan implikasi hukum, jelas mereka mengidap penyakit. Mereka sehat secara fisik, tetapi sesungguhnya mengidap penyakit batin berupa kedengkian, kebencian dan menginginkan pihak lain hancur dengan cara yang mereka lakukan.
Terlepas dari motivasi ekonomi yang menjadi latar belakang siapapun atau kelompok manapun dalam menebar kebencian ini di dunia maya, bahwa hobi yang mereka tekuni dengan mengungkit aib orang lain, terlebih saudaranya sendiri jelas adalah hal yang terlarang dalam agama. Secara tegas, kitab suci Al-Quran malah memberikan gelar kepada para penebar kebencian dan berita bohong ini (ghibbah) dengan sebutan "pemakan bangkai" yang tentu saja lebih parah dari seorang kanibal sekalipun.
"Dan janganlah kalian saling menggunjing. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang" (QS. Al-Hujurat: 12).
Mereka adalah "para pemakan bangkai" sebagaimana dilukiskan Al-Quran dan mereka dalam keadaan tak merasa jijik sedikitpun akibat perbuatan yang dilakukannya. Jika memang benar perbuatan mereka itu, bukankah mereka sedang sakit? Orang yang suka menebar kebencian dan fitnah kepada orang lain jelas tidak dalam keadaan sehat, tetapi didera sakit yang sulit dideteksi apa penyakitnya, sebab penyakit ini jelas terkait dengan kondisi psikis, bukan penyakit dalam artian fisik.Â
Parahnya lagi, ketika mereka tak pernah mau memahami dan mendengarkan, Al-Quran memberikan gelar bak hewan ternak bahkan lebih sesat dari hewan. Memahami banyak hal dan mau mendengarkan dari banyak pihak akan membentuk pola pikir dan kondisi hati lebih sehat, lain halnya dengan pribadi yang tau mau mengerti dan mendengarkan pihak lain.
Yang justru mengherankan adalah ada pernyataan dari beberapa kalangan yang menyebut kelompok pembenci dan penyebar fitnah ini sebagai "mujahid sosmed", dan bahkan tak sungkan-sungkan mereka dibela sebagai kelompok kritis yang menyebarkan keseimbangan informasi. Bagi saya, ini jelas kesesatan logika dan justru ikut larut menjadi pribadi-pribadi yang sehat tetapi tidak walafiat.
Bagaimana tidak, jika penyebar aib orang lain apalagi dengan melebih-lebihkan berita atau informasi untuk memperkuat seakan-akan apa yang diberitakan benar, lalu masih dianggap sehat? Jangankan menebarkan informasi yang mengundang kebencian atau fitnah, mengekspose sesuatu yang baik tetapi agar mendapat pujian saja jelas dilarang oleh ajaran agama, karena itu namanya "sum'ah".
Oleh karena itu menarik, ketika dalam beberapa kali doanya, Rasulullah selalu menambahkan kalimat "wal'afiah" di sela-sela kalimat "sihah" yang senantiasa dihubungkan dengan kebaikan kehidupan dunia dan akhirat. Berharap atau merasa sehat jasmani saja tentu tidak cukup, karena kesehatan sempurna hanya ada dalam kondisi sehat walafiat sehingga setiap pribadi yang merasa sehat walafiat jelas terhindar dari bencana yang bersifat fisik, seperti penyakit yang kasat mata, termasuk dalam hal ini, bencana non-fisik, seperti kedengkian, fitnah, prasangka buruk dan apapun yang mendorong perbuatan jahat yang bersumber dari dalam diri kita sendiri.