Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Salam Pancasila dan Keberagaman

14 Agustus 2017   10:07 Diperbarui: 14 Agustus 2017   11:42 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah "salam Pancasila" yang diusulkan oleh Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri pada acara program Penguatan Pendidikan Pancasila di Istana Bogor, rasanya cukup unik. Keunikannya, karena Pancasila sejauh ini perlu "diselamatkan" dari berbagai rong-rongan ideologi lain yang terus menerus melawannya. Walaupun sesungguhnya, Pancasila sejak dilahirkannya sudah menjadi "ideologi penyelamat" bangsa ini dari sekian banyak pertarungan ideologis para founding fathers kita dalam membangun dan menata republik kita tercinta. Pancasila akhirnya berhasil menjadi "juru selamat" bagi keberagaman agama, etnik, suku dan budaya dan bersatu dalam tekad bersama membangun dan membesarkan NKRI.

Saya yakin, Pancasila sesungguhnya adalah ideologi bangsa yang paling dapat diterima oleh semua pihak, sebagai cermin kekuatan nasionalis-religius yang tak membeda-bedakan seluruh keberagaman masyarakat. Pancasila sekaligus menjadi hasil kompromi politik para pendiri bangsa ini yang sudah seharusnya dijaga dan diteladani seluruh anak bangsa, karena kita sejatinya hanya generasi penikmat kemerdekaan, berbeda dengan pendahulu kita yang dengan berdarah-darah merebutnya dari kolonialisme bangsa asing. Menyadari bahwa Pancasila merupakan ideologi penyelamat bagi bangsa ini, maka sudah semestinya tak pernah ada siapapun atau kelompok manapun yang mempertanyakan atau bahkan ingin mengubahnya, karena jelas keinginan ini cerminan ahistoris yang gagal paham mengenai kemerdekaan.

Memang, saking beragamnya keyakinan dan budaya di republik ini, istilah "salam" sepertinya menjadi klaim sendiri-sendiri atas fanatisme kelompok atau agama. Padahal, "salam" merujuk pada akar katanya yang diadopsi dari bahasa Arab, "salima" mengandung pengertian "selamat dari bahaya". Kata ini jelas memiliki makna yang universal yang berarti mendoakan pihak lain agar selamat dari apapun yang akan membahayakan dirinya. Oleh karena itu, usulan "salam Pancasila" yang diungkapkan Megawati adalah bentuk harapan dan keinginan agar kita senantiasa menjaga Pancasila dari bahaya ideologi lain yang belakangan seakan mempertentangkannya.

Bahkan, bagi saya, ungkapan "assalamu'alaikum" yang sejauh ini dipraktekkan oleh umat muslim adalah kalimat yang universal yang dalam pengertiannya, tidak saja mendoakan seseorang yang kita temui agara selalu dalam keadaan selamat. Tetapi juga kata ganti "kum" yang ada dibelakang kata "assalamu" berkonotasi penghormatan sekaligus harapan atas keselamatan tidak hanya untuk lawan bicara, tetapi siapapun yang ada di sekeliling atau yang tidak hadir sekalipun. Nabi Muhammad sebagai pribadi panutan kaum muslim juga memerintahkan agar senantiasa menyebarkan doa keselamatan (afsyu al-salam) kepada siapapun, tanpa batasa agama, budaya atau kelompok.

Bagi saya, kata "salam" memiliki arti sangat luas dan dalam, tidak hanya berarti "keselamatan" tetapi juga "perdamaian". Salam berarti kedamaian yang dalam arti luas, berarti "kita bersaudara", "kita dalam kedamaian" yang sama sekali membuang jauh-jauh unsur-unsur kebencian atau penolakan atas segala apapun yang telah kita sepakati. Oleh karenanya, kata "Islam" pun merujuk pada akar kata yang sama, yaitu "salima" yang berkonotasi "kedamaian" atau "keselamatan". Maka, ketika dikaitkan dengan agama, Islam menuntut adanya upaya untuk "menyelamatkan" orang lain dari bahaya dan sekaligus menebarkan kedamaian kepada siapapun. Islam berarti tidak pernah suka kekerasa, tetapi lebih cenderung menyelamatkan dan mendamaikan.

Saya kira, kita tak perlu lagi mempersoalkan salam yang diekspresikan oleh banyak kelompok dengan beragam bahasa yang diucapkan, karena bahasa sejatinya hanyalah sarana yang terkait dengan budaya dan tradisi dimana ia disampaikan. Yang jelas, salam merupakan doa dan juga harapan agar kita senantiasa dalam keadaan selamat dan tentu saja selalu berada dalam suasana kedamaian karena sesungguhnya damai adalah pendorong majunya sebuah peradaban kemanusiaan. Tanpa salam, rasanya sulit manusia membangun peradabannya, yang ada justru manusia akan hilang peradaban akibat damai yang tak pernah sama sekali terwujud.

Sebagai umat muslim, justru saya merasa bangga, karena istilah "salam" diadopsi menjadi bagian budaya Indonesia yang mewujud dalam bahasa sehari-hari. Istilah ini seringkali menjadi bahasa "perdamaian" dalam berbagai situasi sosial, termasuk "salam tempel" juga berkonotasi "damai" disaat pengendara motor yang melanggar kemudian diberhentikan polisi. Ada baiknya, istilah salam ini tidak hanya sebatas, "salam Pancasila" atau "salam Bhineka Tunggal Ika" yang belakangan viral di media sosial sebagai bentuk "perlawanan" terhadap klaim salam yang bersifat parsial hanya bagi kalangan atau kelompok tertentu. Salam tidak bisa menjadi klaim salah satu pihak atau kelompok tertentu, karena salam bernuansa universal. Sebarkanlah salam atau kedamaian kepada siapapun dan pihak manapun, karena sungguh itu akan sangat menyejukkan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun