Mendengar istilah "wakil" saya jadi teringat akan asal katanya yang berasal dari bahasa Arab, "wakala" yang berarti "menyerahkan" atau "mempercayakan". Makna ini menjadi penting ketika dihubungkan dengan Tuhan, seperti yang seringkali kita dengar, "bertawakallah kepada Tuhan", artinya segala urusan dan masalah biarlah disandarkan kepada Tuhan, karena Tuhan sesungguhnya adalah sandaran dari seluruh persoalan yang tak terselesaikan oleh manusia. Ketika kata "wakil" dihubungkan dengan "rakyat" berarti memiliki konotasi bahwa seluruh urusan rakyat, baik dari yang kecil hingga yang besar diserahkan dan dipercayakan kepada para wakilnya untuk dicarikan solusi dan diselesaikan seluruh persoalannya.
Wakil rakyat adalah para penolong masyarakat, dari segala urusan-urusan rakyat yang tak mungkin mereka selesaikan sendiri. Mereka dipilih oleh rakyat atas dasar kepercayaan untuk menyerahkan segala urusan mereka kepada wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Karena mereka adalah wakil rakyat, maka sudah seharusnya mereka orang-orang terpilih yang cerdas, profesional, berintegritas, memiliki ketulusan dan kejujuran untuk menyelesaikan persoalan-persoalan rakyat. Namun, kenyataannya banyak sekali kalangan intelektual dan profesional yang justru merasa tak terwakili oleh mereka. Bahkan menganggap wakil rakyat hanya sekumpulan orang-orang yang seringkali membuat gaduh dan risih, melenceng dari makna wakil rakyat yang sebenarnya, baik sebagai sandaran ataupun kepercayaan rakyat.
Kita tentu tahu, bahwa mekanisme pemilihan wakil rakyat harus melelaui jalur partai politik (parpol), sehingga terkadang esensi wakil rakyat sebagai penolong rakyat menjadi kabur, karena mereka secara tidak langsung ditolong oleh parpol, maka wajib bagi mereka untuk "berterima kasih" kepada parpol pengusungnya, bukan kepada rakyat pemilihnya. Hal inilah yang seringkali menjadi lelucon politik, dimana wakil rakyat lebih mati-matian membela parpol daripada rakyatnya sendiri. Bagi saya, fungsi dan tanggungjawab parpol seharusnya mampu menjembatani antara "wakilnya" dengan rakyat yang memilih, sehingga cerita soal lelucon politik wakil rakyat, tak lagi menjadi bualan seluruh masyarakat. Parpol harus mampu menjaga citra baik para "wakil"nya, bukan sekadar mengeruk keuntungan materi dari mereka yang menjadi wakil parpol di DPR.
Bagi saya, makna wakil rakyat yang berkonotasi positif sebagai "bahu sandaran" segala persoalan rakyat, seharusnya disadari oleh mereka untuk lebih mendahulukan urusan rakyat daripada ambisi pribadi mereka yang sudah banyak menerima "privilege". Rakyat pasti marah dan muring-muring, ketika wakil mereka justru meminta kepada rakyat difasilitasi seluruh kebutuhan hidupnya, dari mulai gaji yang besar, rumah yang gratis, kesehatan terjamin dan kendaraan yang mewah.Â
Rakyat pasti akan menjerit lagi ketika para wakilnya justru meminta lagi untuk kesekian kalinya ditingkatkan fasilitas hidupnya dengan dibuatkan apartemen mewah lengkap dengan fasilitas yang mereka kehendaki. Hal ini bukan sekadar isu atau isapan jempol, karena DPR berencana membangun apartemen untuk tempat tinggal mereka yang konon katanya sudah masuk rencana anggaran prioritas sejak 2015 lalu.
Anggaran untuk membangun apartemen wakil rakyat ini sudah diusulkan DPR dengan angka 7,2 triliun dan telah disepakati pemerintah sebesar 5,7 triliun. Para wakil rakyat ini sudah merasa kecapean dan bosan dengan rumah dinas yang mereka anggap terlampau jauh jaraknya dan fasilitas perumahan yang tidak memadai bagi mereka. Intinya, mereka memohon kepada rakyat yang memilihnya untuk mengabulkan keinginannya mempunya rumah baru yang lebih baik, lebih mewah dan lebih masuk akal ketika dihubungkan dengan pekerjaan mereka. Lalu, adakah parpol yang memprotes keinginan wakilnya ini? Sejauh ini saya rasa, belum pernah ada.
Dengan berbagai keistimewaan yang dimiliki wakil rakyat, apakah mereka sesuai dengan makna "wakil" sebagai penolong rakyat atas segala kepelikan dan kepenatan urusannya? Lagi-lagi yang muncul ke permukaan adalah cerita soal lelucon politik yang tragis dan fatal yang berakibat langsung terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Parpol yang paling bertanggungjawab terhadap wakil rakyat ini hanya menangguk kenikmatan dan kecipratan rezeki dari sekian triliun uang rakyat yang habis digerogoti.Â
Mereka yang menikmati hasil jerih payah rakyat, tetapi rakyat yang menunjuk wakilnya di DPR malah tak pernah peduli dan membiarkan rakyat sengsara dan menjerit ditengah kebuntuan masalah ekonomi mereka yang tak kunjung membaik. Jangankan "kecipratan rezeki", untuk makan sehari-hari saja rakyat masih harus banting tulang tanpa harus minta-minta, sangat kontradiktif dengan segala fasilitas penunjang hidup para wakilnya yang duduk manis di DPR.
Saya jadi pesimis terhadap pemaknaan "wakil rakyat" yang jauh melenceng dari arti yang sebenarnya. Padahal, wakil rakyat jelas memiliki konotasi makna yang sangat dalam, jika benar-benar disadari bahwa mereka adalah "wakil" untuk segala urusan yang menjadi beban rakyat, bukan justru menambah berat beban rakyat yang saat ini sudah semakin berat. Jika diubah menjadi "wakil parpol" juga nampaknya kurang pas, mengingat parpol juga dibentuk dan dijalankan oleh rakyat. Lantas, ketika kita tidak merasa terwakili, lalu sebenarnya mereka wakil siapa? Mungkin disinilah kita patut merenungi, apakah istilah tersebut masih cocok disematkan kepada mereka sebagai "Yang Mulia Wakil Rakyat". Jika sudah tak lagi menjadi sandaran bagi kepercayaan rakyat untuk menyerahkan seluruh masalahnya, sebaiknya istilah "wakil rakyat" diganti saja. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H