Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rumah Ibadah dan Ampli Bermasalah

6 Agustus 2017   09:25 Diperbarui: 6 Agustus 2017   09:37 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai manusia, tentu kita merasa kesal, ketika barang milik kita dicuri orang. Barangkali dalam batin kita berpikir, sesuatu yang sudah menjadi hak milik kita maka tak bisa dialihtangankan menjadi hak milik orang lain. Tetapi, apakah benar bahwa harta yang kita miliki sesungguhnya adalah hak kita sepenuhnya? Manusia terlampau "merasa" bahwa harta yang saat ini dimiliki adalah hak mutlak dirinya, padahal sesungguhnya tidak ada yang benar-benar menjadi milik kita, karena ketika kita mati, hak milik barang itu akan berpindah ke tangan orang lain. Rumah yang kita miliki, tanah, kendaraan, uang, semua tidak ada yang benar-benar mutlak milik kita sendiri, karena suatu saat pasti akan dimiliki dan berpindah kepemilikan kepada orang lain.

Oleh karenanya, sangat masuk akal ketika Nabi Muhammad pernah mengungkapkan bahwa orang yang paling cerdas (akyas an-nnas) justru adalah orang yang selalu mengingat mati. Ketika seseorang mengingat mati, berarti dirinya selalu menghubungkan kehidupan nyata dengan sesuatu yang lebih abadi di luar sana. Dunia "kedisanaan" adalah "milik" dia sepenuhnya dan akan abadi tak akan habis atau berpindah kepemilikan kepada pihak lain. Inilah mengapa ketika ada sesuatu miliknya yang hilang atau dicuri orang, dia tidak akan pernah menganggap itu miliknya dan harus kembali seutuhnya. Apapun yang hilang dari dirinya, hanyalah "titipan" yang bisa saja kapanpun akan "kembali" kepada Sang Maha Pemilik.

Rumah Ibadah, tentu adalah milik-Nya dan segala perangkat pendukung yang ada di dalamnya juga hakikatnya juga menjadi hak Sang Maha Pemilik, karena sejatinya manusia hanyalah berstatus sebagai "peminjam" agar rumah ibadah dan segala isinya dirawat dan dijaga secara baik. Kejadian pencurian ampli di salah satu rumah ibadah di Babelan, Bekasi sungguh diluar batas kemanusiaan dan bahkan ketuhanan. Tuhan Sang Maha Pemilik saja tidak akan marah ketika hak miliknya dicuri, tetapi kebiadaban manusia yang membakar hidup-hidup seseorang yang mencuri ampli di rumah ibadah, jelas melanggar batas-batas kemanusiaan dan melampaui wilayah Ketuhanan.

Mushola Al-Hidayah menjadi tempat ibadah bermasalah, karena menjadi saksi mengerikan ketika seseorang mencuri ampli milik mushola, lalu dibakar hidup-hidup. Entah apa yang mendorong orang-orang ini untuk membunuh seseorang tanpa hak, karena dalam ajaran agama Islam membunuh tanpa hak itu adalah jelas kafir. Saya justru teringat ketika sahabat Umar Bin Khattab menjadi khalifah, dia pernah membatalkan eksekusi hukuman potong tangan atas seseorang yang mencuri karena kelaparan dan membutuhkan. Walaupun ditentang oleh banyak pihak, tetapi Umar bersikukuh, bahwa hukum ditegakkan karena adanya "illat" yang berhubungan dengan kemaslahatan sosial. Jika hukum ditegakkan tidak memenuhi unsur maslahat, maka ia wajib gugur karena mendahulukan kemaslahatan sosial lebih di dahulukan.

Saya kira, Umar telah menunjukkan seorang pribadi yang cerdas, tidak sekadar pintar, karena kecerdasan berjalin kelindan dengan ketulusan dan kejujuran. Melihat kejadian pembunuhan atas pencuri ampli yang mengerikan, sangat menunjukkan betapa mereka adalah sekumpulan orang-orang bodoh, yang gagal dicerdaskan oleh agama dan juga negara. Kita tahu, filosofi "mencerdaskan kehidupan bangsa" yang ada dalam Preambule UUD 1945 ternyata banyak mengalami kegagalan, karena negara hanya mampu menjadikan orang "pintar" tetapi gagal membentuk orang-orang "cerdas". Padahal kecerdasan jelas sangat berbeda dengan kepintaran, karena kecerdasan menuntut kematangan berpikir, sehingga apa yang akan diperbuat dan dilakukan telah didasarkan terlebih dahulu oleh pertimbangan akal yang matang dan sempurna.

Fenomena yang menggambarkan bangsa ini dalam melakukan kekerasan jelas merupakan masalah kecerdasan yang gagal dipahami oleh kebanyak elemen masyarakat. Padahal, para founding fathers kita jelas menempatkan kalimat "mencerdaskan kehidupan bangsa" bukan "memintarkan" adalah keinginan mendalam agar bangsa ini cerdas dalam berpikir, berprilaku dan bertindak. Saya kira, prilaku "barbar" yang kita saksikan ketika hanya sebuah ampli mushola yang dicuri dan pelakunya dibakar, adalah prilaku barbar yang benar-benar dalam kondisi kebodohan. Kita tahu, bangsa barbar adalah sekumpulan orang bodoh yang tak beradab, merusak dan menghancurkan peradaban.

Sungguh, negara ini telah gagal mencerdaskan kehidupan bangsa, dan disisi lain pada saat bersamaan berhasil menjadikan orang-orangnya berada dalam kondisi kegelapan dan kebodohan yang nyata, bahkan lebih barbar dari bangsa barbarian yang sesungguhnya. Bagi saya, ini adalah paradoks kemanusiaan dan agama, disaat kemanusiaan penuh kasih sayang dan agama juga mengajarkannya, tetapi justru sangat bertentangan. Mereka mengaku beragama, bahkan mengaku menjadi penganut agama yang baik, tetapi gagal menjalankan ajaran agamanya. Disisi lain, mereka mengaku sangat Indonesia, sangat cinta NKRI, tetapi di sisi lain, gagal memahami keingin para pendiri bangsa ini, untuk menciptakan kecerdasan dalam kehidupan bangsa. Ini adalah sebagian kecil saja dari masalah kecerdasan bangsa, hanya karena ampli bermasalah di rumah ibadah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun