Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

Ngilu Narkoba di Indonesia

5 Agustus 2017   17:50 Diperbarui: 3 Maret 2019   14:40 1095
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa pemberitaan di media menyoal narkoba, serasa ngilu membacanya. Tidak hanya itu, mozaik wajah bangsa ini semakin dipenuhi kengiluan atas serentetan peristiwa yang hampir setiap hari disuguhkan. Soal Korupsi yang tiada henti, menguatnya radikalisme, premanisme, terorisme baik yang berkedok agama atau politik hingga soal penggandaan uang, bercampur aduk semakin meruwetkan potret wajah bangsa ini.

Barangkali yang paling memilukan dan mengilukan adalah soal narkoba, yang sedemikian massif mengepung segala penjuru Nusantara. Berton-ton obat haram ini masuk melalui berbagai jalur tanpa pengawasan berarti dan akhirnya negeri ini menjadi pasar "teraman" untuk transaksi narkoba.

Kita memang membaca soal berita, polisi mengamankan 1 ton narkoba yang berasal dari China tetapi tak sebanding dengan jumlah 5 ton lainnya yang luput dan berhasil lolos dari sergapan petugas. Sudah sejak lama, negeri ini menjadi target para kartel besar dunia untuk memasarkan sekaligus dijadikan "jalur aman" perdagangan barang haram ini. 

Mungkin kita tak bisa lagi menutup mata, hukuman terberat untuk para pemasok ini jelas tak pernah membuat mereka jera. Bagi mereka para penjahat narkoba, hukum di Indonesia bisa dimanipulasi atau bahkan di tangguhkan, asal punya "beking" orang-orang kuat. Bahkan yang paling ngilu, para terpidana mati justru bebas menjalankan bisnis haramnya dari dalam penjara.

Setelah Duterte menyatakan perang terhadap kartel narkoba, dan tak segan-segan "menghabisi" para pemasoknya yang tertangkap, Filipina kini tidak lagi menjadi wilayah aman bagi transaksi narkotika. Para kartel besar narkoba kini mengalihkan jalur pengirimannya melalui Indonesia, karena dinilai lebih aman.

"Keganasan" Duterte terhadap pemasok narkoba jelas bukan sekadar gertakan, terbukti berdampak pada ketakutan luar biasa terhadap mereka. Jika memang Indonesia ingin terhindar dari jalur perdagangan narkoba internasional, barangkali dapat meniru cara-cara Duterte yang sukses membuat takut para gembong narkoba.

Fakta menjelaskan bahwa Indonesia merupakan pasar kedua terbesar narkotika dunia. Dari data yang disebut media, narkoba yang masuk ke Indonesia dipasok dari 11 negara dan dikendalikan oleh 72 jaringan internasional.

Ini artinya benar, bahwa negeri ini paling diminati oleh para kartel narkoba untuk menjalankan transaksinya sebebas mungkin, bahkan tanpa pernah ada cerita kartel yang gulung tikar. "Demand-nya selalu tumbuh, buktinya paket berton-ton itu masuk lagi", demikian ungkap Kepala BNN, Budi Waseso menjelaskan kenapa pasar perdagangan narkoba di Indonesia semakin melejit.

Saya jelas ngilu ketika mendengar bahwa kurir narkoba asal Indonesia selalu dimanfaatkan dengan bayaran relatif lebih murah, dibanding kurir negara lainnya. Untuk membandingkan dengan kurir asal Taiwan saja yang dibayar 40 juta, kurir lokal disini cukup dibayar dengan harga 10 juta, bahkan ada yang hanya 6 juta, sudah siap dengan segala resiko yang dihadapinya, termasuk mati. 

Bahkan, para kurir tak perlu dibayar-pun bisa, asal dibarter dengan narkoba. Menjual sepuluh dapat satu, itu adalah iming-iming yang membuat transaksi jual-beli barang haram ini serasa dimudahkan.

Saya bahkan membayangkan, betapa surganya narkoba berada dekat disini, di negeri ini, sementara bangsa kita rusak oleh narkoba, tetapi para pemasok dan kartelnya sejahtera di negerinya dan menikmati setiap jengkal kenikmatan duniawinya tanpa sedikitpun tersentuh oleh hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun