Ide khilafah bagi saya tetap menarik, bukan karena ia populer akibat dipromosikan HTI, tetapi ide ini sejatinya juga telah menginspirasi raja-raja di Nusantara---khususnya di Jawa---yang bangga ketika mereka bergelar "khalifah". Istilah ini sudah sangat tidak asing dan bahkan seperti melebur dalam NKRI, ikut melibatkan diri dalam perjuangan mempertahankan negara ini dari segala bentuk kolonialisme dan imperialisme. Gelar "khalifatullah" yang disematkan kepada para raja Mataram, selain mempertegas bentuk legitimasi politiknya terkait dengan kekhilafahan Islam, juga dipergunakan sebagai "alat politik" berjuang mempertahankan kedaulatan negara.
Bahkan, jauh sebelum ribut-ribut soal ide khilafah yang diusung HTI yang menjadi polemik hingga pembubaran organisasinya, kerajaan Mataram tidak saja mengambil ide ini sebagai bentuk legitimasi politik, tetapi gelar kehormatan yang agung yang disematkan kepada para raja selama berabad-abad. Gelar para raja Mataram yang sebelumnya sultan, sunan, dan panembahan kemudian berubah menjadi "khalifatullah", dimulai sejak berkuasanya raja Amangkurat IV (1719-1724). Bahkan khalifah juga menjadi gelar populer sepanjang sejarah Kesultanan Yogyakarta,yaitu Khalifatullah Sayyidin Panatagama yang tetap bertahan sampai dihapusnya oleh Sultan Hamengkubowono X, pada 2015.
Tidak ada yang pernah mempersoalkan, kenapa para raja di Kesultanan Yogyakarta mengambil ide khilafah yang jelas-jelas diimplementasikan dalam kehidupan politiknya. Gelar "khalifatullah" atau "wakil Allah" jelas terinspirasi dari sejarah kekhalifahan Islam, yang belakangan ide ini justru dianggap radikal, menakutkan dan membahayakan. Konsep Khilafah Nusantara yang pernah hidup selama tiga abad di Tanah Jawa, berhasil mengobarkan semangat melawan penjajahan, mempertahankan NKRI dari segala bentuk imperialisme yang mengancam persatuan dan kesatuan. Khilafah hidup dengan damai di Tanah Jawa melebur dengan NKRI, ikut serta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Disaat "khilafah" yang digaungkan ISIS menebar kebencian, kekerasan dan peperangan, maka Khilafah NKRI justru menebarkan kedamaian, mempererat persatuan dan kesatuan dan sangat anti terhadap kekerasan.
Wujud kekhilafahan NKRI yang menyatu dalam tradisi kerajaan Mataram yang kemudian secara mutlak dipertahankan oleh Kesultanan Yogyakarta jelas menyemai ideologi keselarasan antara agama dan politik. Tradisi ini cermin dari penyatuan politik sekaligus agama, dimana keduanya unsurnya saling mengisi dan melengkapi, bukan saling bertolak belakang. Meskipun nuansa kejawen (mistisisme Jawa) masih sangat kental, namun agama Islam tetap mempengaruhi kehidupan sosial-politik meskipun relatif sedikit cair. Islam dalam perspektif Jawa yang mengakar dalam tradisi masyarakat Yogyakarta tak pernah sedikitpun curiga dengan konsep dan ide khilafah yang dipertahankan dalam tradisi kerajaan.
Beberapa waktu yang lalu, saya juga pernah menulis soal khilafah adalah produk politik yang saya hubungkan dengan ideologi parpol yang juga diperkenalkan menjadi produk politik kepada masyarakat. Konsep khilafah terlalu dibesar-besarkan dan dipersalahkan hanya karena yang pembawanya adalah HTI, padahal ketika ide khilafah termanifestasi dalam tradisi nusantara yang mewujud pada legitimasi politik para raja, sama sekali tak pernah dipersoalkan. Tidak ada yang salah dengan ide khilafah, selama ia mampu melebur dalam NKRI, berjuang bersama masyarakat menyuarakan keadilan dan kebenaran, sebagaimana yang dilakukan Kesultanan Yogyakarta. Memandang khilafah tanpa memahami sejarah, pada akhirnya akan salah kaprah, bahkan cenderung naif hanya mengaitkan khilafah sebagai hal negatif seperti ideologi berbahaya lainnya.
Khilafah Nusantara pernah berjaya di negeri ini, bahkan tanpa ada persoalan sedikitpun baik dari sisi ideologi maupun prakteknya. Selama lebih dari tiga abad, khalifatullah tetap hidup mewarnai merah-putih negeri ini, berpadu dalam keragaman bhineka tunggal ika, berjuang mempertahankan dan menyelamatkan NKRI. Tidak ada yang perlu dirisaukan apalagi ditakutkan dari sebuah ide khilafah, terbukti para raja Mataram tetap dihormati, dijunjung tinggi dan ditaati oleh rakyatnya dan pemerintahannya-pun berjalan dengan aman dan damai. Gelar "khalifah" yang telah lebih dulu hadir melegitimasi kekuasaan politik para raja Jawa seharusnya dipahami sebagai bentuk sinkretisme budaya yang menopang NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.
Pandangan dan pemahaman yang dangkal terhadap ide khilafah yang dihubung-hubungkan dengan bentuk politisasi agama, terkadang berlebihan sehingga menganggap ide khilafah melawan dan bertentangan dengan NKRI. Jika menganggap HTI dengan khilafahnya adalah produk politik berbahaya dan mengancam negara, itu bukan karena khilafahnya yang tidak sesuai, tetapi cara penyampaian ide khilafahnya yang salah dilakukan ormas HTI. Nampaknya, HTI harus belajar bagaimana kerajaan Mataram mampu menyemai ide kekhalifahan tanpa ada pertentangan dari masyarakat, sehingga khilafah dapat lebur dalam "produk budaya" yang dihormati, diagungkan dan ditaati oleh segenap masyarakat. Saya yakin, walaupun ormas HTI dibubarkan, namun ide kekhilafahan akan tetap hidup, mencari bentuknya sendiri, karena memang khilafah pada dasarnya adalah "pergantian" yang melibatkan perorangan atau generasi. Dalam masyarakat politik, proses pergantian jelas, baik itu pergantian pemimpin ataupun sistemnya. Keduanya terus berotasi "berkhilafah" menyesuaikan dengan konteks sejarah dan kebutuhan masyarakatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H