Hampir seluruh informasi yang disodorkan adalah dari internet yang mungkin tak pernah diverifikasi sebelumnya kepada pihak lain agar diperoleh sebuah fakta kebenaran yang lebih obyektif. Jika dalam ajaran Islam rukun iman disebut hanya ada enam, maka di era saat ini jumlahnya bertambah menjadi tujuh, yakni "beriman kepada internet" yang diyakini sebagai sebuah kebenaran agama.
Dalam ajaran Islam, terminologi iman secara klasik dapat didefinisikan sebagai "tashdiqu bi al-qobi wa a'maalu bi al-arkaan" (membenarkan dalam hati dan mengimplementasikannya dengan perbuatan) sehingga model keimanan kepada internet di era pasca-kebenaran akan tampak sebagai bentuk rukum iman yang ketujuh yang diyakini kebenarannya dan sekaligus diimplementasikan dalam kehidupannya sehari-hari.Â
Fenomena ini semakin mengental di tengah masyarakat muslim Indonesia, sehingga wajar jika kemudian mucul tuduhan-tuduhan yang meyakitkan yang harus diterima kalangan muslim lainnya---karena tidak beriman kepada internet---sebagai pihak yang "kafir" atau bahkan "thogut". Parahnya lagi, tuduhan-tuduhan-pun sudah menyasar para ulama yang memiliki otorisasi dalam bidang keislaman, hanya gara-gara soal opini publik yang dibentuk oleh kebenaran internet yang diimani.Â
Kita nampaknya perlu mereformasi iman kita, agar internet hanya dimanfaatkan sebagai alternatif kebenaran, bukan tolok ukur kebenaran itu sendiri. Iman membutuhkan obyektifitas melalui prinsip tabayyun, sebagaimana yang diajarkan oleh nabi kita, Ibrahim AS.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H