Kita patut juga merenungi bait pidato Soekarno pada saat Kemerdekaan Indonesia tahun 1963: Â "lebih baik makan gaplek tapi merdeka, dari pada makan bistik tetapi jadi budak". Bait pidato ini menyiratkan makna yang dalam tentang kondisi para pekerja Indonesia yang cenderung menjadi "budak" di negeri orang tetapi rela dari pada bekerja di negeri sendiri meskipun penghasilan pas-pasan. Fenomena buruh migran sebenarnya paradoks dengan melimpahnya kekayaan alam yang berpotensi di negeri ini.Â
Perubahan mindset bangsa ini dari produktif ke konsumtif, menjadikan sebagian besar menganut azas materialistik: punya uang banyak, rumah besar, kendaraan mewah, kedudukan tinggi tetapi tanpa harus susah berproses melalui tahapan-tahapan kemajuan. Semua serba instan! Begitulah gambaran mudahnya dalam mengukur kenapa jumlah buruh migran asal Indonesia yang dikirim ke negara-negara asing semakin bertambah, bukannya berkurang.
Saya kira, para pemangku negeri ini juga sudah seharusnya memikirkan dan mencarikan solusi agar bangsa ini tidak tergiur oleh nilai materi yang terpaut jauh berbeda antara yang dihasilkan di negeri sendiri dan di negeri orang lain. Anehnya, para pekerja asing yang bekerja di negeri ini justru dibayar dengan nilai mata uang dimana mereka tinggal, tidak dihitung sesuai dengan nilai tukar yang ada di negeri sendiri.Â
Para pekerja "impor" di negeri kita sangatlah dihargai, dijunjung tinggi, dan mempunyai kedudukan "lebih" dibandingkan para pekerja lokalnya sendiri, berbeda terbalik dengan para pekerja asal negeri kita yang bekerja di negeri orang yang cenderung direndahkan, dikucilkan bahkan kadang tak pernah dihargai sebagai pekerja. Banyak sekali yang harus dibenahi, tidak melulu fokus pada soal politik kekuasaan dan kepentingan atau pembangunan infrastruktur, lihatlah sejenak para buruh migran bangsa ini yang selalu dinomorduakan bahkan tak diperhatikan, baik oleh para pemangku negeri ini, terlebih orang mereka bangsa lain yang menganggap buruh migran asal Indonesia tak lebih dari "sampah" yang harus "dibersihkan" dan "dibuang". Wallahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H