Setelah sekian lama para pejabat korup dimandulkan oleh KPK bahkan bisa jadi mereka yang mau korupsi akan berpikir jutaan kali, kini mereka saatnya bangkit melawan kekuatan anti korupsi dengan fasilitas hak angket yang digulirkan DPR. Bagaimana tidak, Panitia Hak Angket telah berembuk membuat langkah-langkah politik untuk "melindungi" kolega mereka yang terindikasi korupsi, setelah pihak kepolisian menolak menjemput paksa Miryam S Haryani agar dihadirkan di sidang pansus hak angket DPR.
Seakan tak mau kehabisan akal, berbagai upaya ditempuh oleh DPR termasuk membuka posko korban korupsi dan mengunjungi para koruptor untuk dimintai keterangan soal ada tidaknya pelanggaran selama penyelidikan oleh pihak KPK. Secara psikologis kita dapat mengukur, siapapun yang benar-benar dalam keadaan terdesak, terlebih masih menyimpan kekuatan,sudah tentu akan berupaya terus melakukan perlawanan.
Bagi saya, kegigihan DPR terus menjalankan hak angket-nya adalah cara lain "koruptor" melakukan perlawanan terhadap kekuatan anti korupsi yang secara kelembagaan terus semakin menguat dan mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat. Terungkapnya korupsi E-KTP yang disinyalir dananya justru mengalir ke kantong-kantong pribadi anggota parlemen, justru membuat lembaga wakil rakyat ini tercoreng dan bahkan direndahkan oleh publik.
Lembaga tertinggi negara ini seperti kehilangan hak imunitas-nya menjadi bulan-bulanan masyarakat yang "mencap" sebagai lembaga negara paling korup di negeri ini. Tentu saja mereka bersepakat dalam upaya "pembusukan politik", melawan kekuatan dominasi KPK yang merupakan mitra kerja mereka sendiri dalam hal pemberantasan korupsi. Jika KPK sebagai mitra kerjanya hendak mereka kebiri, lalu mitra kerja mana lagi yang akan menjadi sasaran jika suatu saat mereka merasa direndahkan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H