Perbedaan terhadap penentuan awal bulan Ramadan dan awal bulan Syawal memang telah menjadi sebuah kenyataan historis bahkan sejak zaman Nabi Muhammad. Hanya saja, penentuan masuknya awal bulan, baik Ramadan atau Syawal lebih banyak didasarkan pada perbedaan wilayah atas cara pandang umat terhadap fenomena alam, yaitu melihat hilal.Â
Terkadang antara satu wilayah dengan wilayah lainnya berbeda dalam penentuannya dikarenakan posisi hilal yang tak semuanya dapat dilihat. Hal ini didasarkan pada sebuah catatan sejarah, di mana seseorang bernama Kuraib yang diutus Umm al-Fadhl (Istri paman Nabi Muhammad, Abbas) ke wilayah Syam dan menyaksikan masyarakat muslim telah melakukan puasa, padahal sekembalinya dari Syam, di wilayahnya belum terlihat hilal, sehingga puasa belum dimulai.
Perbedaan wilayah menjadi hal biasa dalam perbedaan awal Ramadan, karena disesuaikan dengan situasi terlihat atau tidaknya hilal secara kasat mata. Namun, menjadi hal yang diluar dugaan jika perbedaan soal awal puasa, terlebih soal awal lebaran, tidak didasarkan pada perbedaan wilayah, tetapi didasarkan pada peristiwa atau fenomena alam dan didukung oleh ajaran-ajaran perhitungan bulan yang didapatkan secara turun temurun.Â
Adalah Tarekat Naqsyabandiyah dan Jamaah An-nadzir yang seringkali berbeda dengan umat muslim pada umumnya, baik soal penentuan awal bulan Ramadan dan Syawal. Kedua kelompok ini justru akan melaksanakan Idul Fitri pada hari Sabtu besok (24/06) berbeda satu hari dengan umat muslim pada umumnya yang baru akan melaksanakan rukyat pada hari Sabtu besok.
Tarekat Naqsyabandiyah misalnya menentukan awal lebaran berdasarkan kalender metode hisab Munjid yang diperkenalkan Syekh M Thalib pada awal abad ke-20. Metode hisab ini jelas sangat berbeda dengan metode yang dipergunakan kebanyakan umat muslim, di mana metode hisab hanya berpatokan pada perhitungan kalender Hijriyah secara umum, dan memungkinkan melakukan perhitungan hingga beberapa puluh tahun ke depan soal penentuan awal bulan Hijriyah.
Jamaah An-Nadziriyah, Gowa, Sulawesi Selatan bahkan dikenal selalu berbeda dalam menentukan awal puasa atau awal lebaran. An-Nadziriyah mengklaim melakukan perhitungan sesuai dengan standar hisab dan rukyat, hanya saja mereka melakukan tambahan dengan melihat beragam fenomena alam, termasuk mencermati pasangnya air laut.
Perbedaan-perbedaan yang terjadi soal penentuan awal bulan, sudah semestinya tidak perlu dipersoalkan, karena masing-masing mempunyai metodologi yang diyakini kebenarannya. Selama hitungan puasa Ramadan sesuai dengan hitungan bulan Hijriyah---jika tidak 29 pasti 30 hari---maka soal penentuan awal bulan menjadi tidak lagi begitu penting, karena hal ini kemudian hanya menjadi sebatas penyeragaman bagi umat agar bersama-sama dapat menjalankan ibadah puasa dan juga bersama-sama dapat menjalankan Idul Fitri. Yang membedakan kaum muslim kebanyakan di Indonesia dengan jamaah An-Nadziriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah adalah soal penentuan awal puasa yang lebih dahulu satu hari, sehingga Idul Fitri juga lebih cepat satu hari dibanding kebanyakan umat muslim.
Bagi saya, cukup menarik melihat fenomena Islam di Indonesia yang tak pernah sepi dari pelbagai kenyataan perbedaan. Belum lagi ditambah oleh maraknya beragam kelompok keagamaan yang didasarkan pada "sentimen fiqh" yang muncul dalam varian bentuknya seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad dan lain-lain.Â
Mereka yang ada pada jalur mainstream kelompok keagamaan---seperti NU dan Muhammadiyah---sudah seringkali berbeda dalam soal penentuan awal Ramadan dan awal Idul Fitri, yang pertama selalu berpatokan kepada rukyah wujudul hilal sedangkan di sisi lain, condong kepada metode hisab imkanu arru'yah. Yang kadang beberapa kali justru berbeda, antara lebarannya NU dan Muhammadiyah. Penentuan awal bulan terkadang menjadi wilayah egoisme masing-masing, padahal jika merujuk pada jumlah hari di bulan Hijriyah, yang 29 atau 30, semestinya perbedaan itu tidak pernah ada.
Maraknya beragam perbedaan yang terjadi dalam masyarakat muslim Indonesia, sejauh ini berkait erat dengan cara Islam masuk ke Nusantara yang secara umum berwajah "sufisme". Asumsi ini jelas didasarkan pada kondisi dimana masyarakat masih sangat kuat mempertahankan adat dan tradisi, sehingga warna tarekat dan sufistik akan lebih mudah diterima karena corak dakwah mereka yang juga tak menghilangkan unsur-unsur mistisisme yang sangat digandrungi masyarakat Indonesia.Â
Dialog secara terus menerus dengan watak sufisme pada akhirnya akan membentuk Islam Indonsia cenderung mementingkan syari'at dan berwatak "fiqh sentris". Fiqh merupakan metodologi dan cara pandang yang tentunya tak pernah monolitik dalam memandang setiap persoalan yang terkait hukum Islam, ia selalu menyodorkan argumentasi diselaraskan dengan metodologi yang dipahaminya.
Dengan demikian, watak Fiqh sentris yang diwarisi umat muslim Indonesia selalu saja memunculkan perbedaan-perbedaan yang terkadang menimbulkan ketegangan di tengah masyarakat. Fenomena seperti ini sudah terjadi sekian lama, bahkan sudah dimulai sejak awala abad 19. Sebut saja, misalnya tarekat Naqsyabandiyah yang sudah hidup sejak tahun 1850-an adalah pengganti dari tarekat Syattariyah yang konon tak mementingkan soal syariat.Â
Tarekat Syattariyah mengajarkan sholat permanen yang tidak terpaku pada sholat yang ditetapkan waktunya sebanyak lima kali. Tergesernya tarekat Syattariyah oleh tarekat Naqsyabandiyah-Qodiriyah adalah kemenangan pihak "ritual" dan kekalahan pihak "spekulatif". Ritual jelas lebih mementingkan pada soal kontemplasi, wirid, atau syari'at, tak jauh berbeda dengan Krama Yoga dalam ajaran Hindu yang cenderung mementingkan segi ritual yang diselaraskan dengan kebiasaan dan adat.
Saya kira, fenomena perbedaan akibat "fiqh sentris" zaman dahulu tak begitu jauh berbeda dengan saat ini, di mana perbedaan-perbedaan muncul biasanya karena kedekatan masing-masing kelompok yang memiliki kecenderungan tak seragam, baik karena segi ritual-nya atau segi spekulatif-nya.Â
Kita bisa melihat dalam soal kasus perbedaan penentuan awal Ramadan dan Idul Fitri, kelompk Muhammadiyah sudah lebih dahulu menentukan tanggalnya karena secara spekulatif memandang, metode hisab lebih akurat soal perhitungan kalender. Berbeda dengan ormas NU dan lainnya, yang tetap berpatokan pada hasil rukyat yang harus dilihat secara kasat mata, karena rukyat adalah ritual yang dijalankan Nabi Muhammad dalam menentukan awal bulan Hijriyah.
Hal inilah yang kemudian kita saksikan pada Jama'ah An-Nadziriyah, Gowa dan Tarekat Naqsyabandiyah, Sumatera Barat yang berbeda dalam menentukan awal puasa dan lebaran dengan keumuman masyarakat muslim. Mereka lebih banyak berpatokan secara "ritual" sebagaimana cara pandang sufistik dengan berpedoman pada fenomena alam, ajaran-ajaran terdahulu secara turun temurun walaupun kelihatannya mereka "menyimpang" dari ajaran Islam pada umumnya.Â
Kekuatan "ritual" tampaknya menjadi sebuah keyakinan yang tak terbantahkan dan tak mungkin dipaksakan untuk diseragamkan. Di sinilah letak keharmonisan dan keindahan Islam, ajaran-ajarannya selalu menjadi "rahmatan lil alamin" tidak hanya dirasakan oleh sesama muslim, tetapi dirasakan semestinya oleh seluruh mahluk. Wallahu a'lam bisshawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H