Dengan demikian, watak Fiqh sentris yang diwarisi umat muslim Indonesia selalu saja memunculkan perbedaan-perbedaan yang terkadang menimbulkan ketegangan di tengah masyarakat. Fenomena seperti ini sudah terjadi sekian lama, bahkan sudah dimulai sejak awala abad 19. Sebut saja, misalnya tarekat Naqsyabandiyah yang sudah hidup sejak tahun 1850-an adalah pengganti dari tarekat Syattariyah yang konon tak mementingkan soal syariat.Â
Tarekat Syattariyah mengajarkan sholat permanen yang tidak terpaku pada sholat yang ditetapkan waktunya sebanyak lima kali. Tergesernya tarekat Syattariyah oleh tarekat Naqsyabandiyah-Qodiriyah adalah kemenangan pihak "ritual" dan kekalahan pihak "spekulatif". Ritual jelas lebih mementingkan pada soal kontemplasi, wirid, atau syari'at, tak jauh berbeda dengan Krama Yoga dalam ajaran Hindu yang cenderung mementingkan segi ritual yang diselaraskan dengan kebiasaan dan adat.
Saya kira, fenomena perbedaan akibat "fiqh sentris" zaman dahulu tak begitu jauh berbeda dengan saat ini, di mana perbedaan-perbedaan muncul biasanya karena kedekatan masing-masing kelompok yang memiliki kecenderungan tak seragam, baik karena segi ritual-nya atau segi spekulatif-nya.Â
Kita bisa melihat dalam soal kasus perbedaan penentuan awal Ramadan dan Idul Fitri, kelompk Muhammadiyah sudah lebih dahulu menentukan tanggalnya karena secara spekulatif memandang, metode hisab lebih akurat soal perhitungan kalender. Berbeda dengan ormas NU dan lainnya, yang tetap berpatokan pada hasil rukyat yang harus dilihat secara kasat mata, karena rukyat adalah ritual yang dijalankan Nabi Muhammad dalam menentukan awal bulan Hijriyah.
Hal inilah yang kemudian kita saksikan pada Jama'ah An-Nadziriyah, Gowa dan Tarekat Naqsyabandiyah, Sumatera Barat yang berbeda dalam menentukan awal puasa dan lebaran dengan keumuman masyarakat muslim. Mereka lebih banyak berpatokan secara "ritual" sebagaimana cara pandang sufistik dengan berpedoman pada fenomena alam, ajaran-ajaran terdahulu secara turun temurun walaupun kelihatannya mereka "menyimpang" dari ajaran Islam pada umumnya.Â
Kekuatan "ritual" tampaknya menjadi sebuah keyakinan yang tak terbantahkan dan tak mungkin dipaksakan untuk diseragamkan. Di sinilah letak keharmonisan dan keindahan Islam, ajaran-ajarannya selalu menjadi "rahmatan lil alamin" tidak hanya dirasakan oleh sesama muslim, tetapi dirasakan semestinya oleh seluruh mahluk. Wallahu a'lam bisshawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H